Pages

Wednesday, July 13, 2016

Mencari, Menemukan, dan Menggunakan Informasi secara Bertanggungjawab

 Dipresentasikan pada Seminar dan Launching Buku Seri Literasi Informasi : Urgensi dan Tantangan Literasi Informasi di Lembaga Tinggi - Perpustakaan Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 19 April 2016

Literasi Informasi

ALA(ACRL Board, 2016) menyusun sebuah kerangka literasi informasi terbaru dan mendefinisikan literasi informasi dengan definisi :

“Information literacy is the set of integrated abilities encompassing the reflective discovery of information, the understanding of how information is produced and valued, and the use of information in creating new knowledge and participating ethically in communities of learning” .

Secara sederhana, ALA menjabarkan bahwa literasi informasi adalah sekumpulan kemampuan yang terintegrasi/menyatu melampaui penelusuran informasi secara reflektif, pemahaman cara informasi disusun dan dihargai, dan penggunaan informasi dalam menghasilkan pengetahuan baru dan menjadi bagian dari komunitas belajar dengan etika.  Kemampuan yang menyatu berarti setiap kemampuan pada tiap langkah yang didefinisikan dalam model literasi informasi, apapun itu, saling terkait satu sama lain. Kemampuan mencari informasi didukung dan didasari oleh kemampuan memahami masalah, mengevaluasi, menggunakan dan menyajikan informasi dengan etis dan tepat.  

Tulisan ini menjabarkan literasi informasi didasari pada sebuah evaluasi terhadap buku seri literasi informasi yang disusun oleh sekelompok pustakawan perpustakaan Universitas Sanata Dharma dengan keberanian dan tekad untuk membekali pembelajar di komunitasnya. Bahasan tulisan mengikuti judul yang diberikan yaitu mencari, menemukan, dan menggunakan informasi dengan secara bertanggung jawab. Pembahasan diawali dengan identifikasi masalah, sebuah kegiatan yang tidak dibahas secara khusus pada buku tersebut.

Identifikasi Masalah

Proses mencari, menemukan dan menggunakan informasi didasari kebutuhan akan informasi. Pemahaman terhadap kebutuhan informasi tidak selalu mudah untuk dicapai. Seorang pembelajar ketika berhadapan dengan pertanyaan atau masalah akademik, ada kalanya tidak langsung dapat memahami apa yang menjadi pertanyaan atau masalah baginya. Karena itu sesuai dengan model literasi informasi yang telah disusun seperti, Big 6, Empowering 6, 7 Langkah literasi informasi, dan 7 Pillars Information Literacy SCONUL, langkah pertama dimulai dengan identifikasi masalah. 

Identifikasi masalah juga memberi kesempatan bagi pembelajar untuk mengenal sumber informasi yang tersedia baginya untuk diakses. Biasanya internet menjadi tujuan pertama bagi siapapun yang membutuhkan informasi. Sumber lain seperti buku dan artikel jurnal ilmiah menjadi tujuan berikutnya setelah internet dirasa tidak memberikan apa yang dicari(Proboyekti & Widyaningrum, 2015). Di sinilah program literasi informasi memberdayakan pembelajar untuk mempertimbangkan banyak sumber informasi  seperti buku teks, karya tulis dari jurnal ilmiah dan blog: 

1.      Buku teks memiliki kemudahan akses, keragaman topik, format tercetak dan digital dan lokasi akses yang beragam. Buku teks tidak dibatasi pada buku yang ada di perpustakaan, tetapi juga buku yang tersedia dan dapat dibaca melalui Google books. Pembelajar perlu tahu bahwa buku teks tidak perlu dibaca secara keseluruhan, sehingga mereka dapat memanfaatkan bagian-bagian buku yang dibuka oleh para penerbit dan dibaca. Buku yang berada di perpustakaan lain, dimungkinkan untuk diakses melalui kerja sama antar perpustakaan. 

2.      Ketersediaan karya tulis ilmiah di jurnal tercetak, database online, open access mendapat perhatian yang kecil bagi pembelajar di pendidikan tinggi S1. Keengganan karena bahasa dan tidak pahamnya cara membaca artikel jurnal yang kritis dan strategis menjadi penyebab rendahnya akses terhadap artikel jurnal. Pada kenyataannya artikel jurnal ilmiah merupakan sumber informasi yang terbaru, dan diperlukan oleh para pembelajar di pendidikan tinggi, apapun jenjangnya. Hasil karya penelitian terbaru membantu pembelajar tahu kemajuan teknologi. Sementara buku teks merupakan rangkuman dan isinya tidak selalu terbarui.
3.      Blog merupakan sumber informasi yang banyak diminati pembelajar karena mudah diperoleh, dibaca dan sering kali sesuai dengan kebutuhan (Proboyekti & Widyaningrum, 2015). Sekalipun banyak blog yang penulisnya tidak memperhatikan etika penulisan dan penyebaran informasi, namun tidak sedikit blog yang ditulis dengan baik dan ditulis sesuai dengan keahlian penulisnya. Pembelajar perlu tahu cara mengevaluasi blog dan menggunakan informasi di blog dengan benar sehingga informasi yang akan dihasilkannya dapat dipertanggung jawabkan. Kemampuan literasi informasi membuat pembelajar kritis dan mampu menghargai karya orang lain yang dibungkus dalam berbagai format (ACRL Board, 2016). Sebagian penulis dan peneliti memiliki blog untuk memberikan informasi terbaru tentang karya tulis dan hasil penelitiannya dengan menjelaskan secara sederhana apa yang mereka tulis. Blog semacam ini dapat dimanfaatkan pembelajar untuk mendapatkan informasi terbaru dari para penulis. 

Sifat sumber informasi yang berbeda-beda satu sama lain perlu diketahui oleh pembelajar. Dengan mengetahui karakteristik dari berbagai sumber informasi mereka terbantu untuk memutuskan sumber informasi yang tersedia dan yang akan mereka gunakan ketika mereka mengidentifikasikan masalah.
Memahami permasalahan mendorong seseorang untuk melihat masalah yang dihadapinya dengan kritis sehingga masalah yang awalnya dirasa sulit dapat diuraikan menjadi bagian-bagian masalah yang lebih kecil dan mampu untuk dihadapi.  Untuk memecah masalah menjadi sub-masalah, pemetaan konsep atau mind mapping dapat menjadi alat sederhana yang dapat digunakan. Selain itu membuat pertanyaan dengan kata kunci 5W1 H (What, Why, Where, When, Who dan How) adalah cara lain. Beberapa orang mungkin lebih suka menuangkan kerumitan dalam kalimat yang dicurahkan untuk kemudian ditemukan kata-kata kunci yang menjadi inti dari masalah. Jadi, banyak cara untuk dapat memahami permasalahan agar dapat menemukan pertanyaan-pertanyaan atau sub-sub masalah yang lebih mudah untuk dijawab atau dihadapi.
Dapat dibayangkan bahwa 1 sub-masalah dapat saja memerlukan satu siklus model literasi informasi untuk menjawabnya sehingga untuk memecahkan masalah yang terdiri dari beberapa sub masalah, seseorang perlu menjalani siklus model literasi informasi sebanyak jumlah sub masalah yang teridentifikasi. Sebagai contoh, seorang pustakawan diberi tugas untuk dapat membuat sebuah materi  evaluasi sumber informasi yang berbasis case-based learning dengan memanfaatkan HTML 5 agar materi bersifat interaktif. Ada beberapa sub masalah dalam tugas tersebut :
  1. Pustakawan belum memahami HTML 5
  2. Pustakawan belum menguasai materi evaluasi sumber informasi
  3. Jenis sumber informasi yang akan menjadi fokus belum ditetapkan
  4.  Case-based learning masih perlu dipelajari
  5. Target dari materi belum ditetapkan
Untuk setiap sub masalah di atas, maka pustakawan perlu menyelesaikannya satu demi satu dengan kemampuan literasi informasinya. Setiap sub masalah menghasilkan solusi  yang akan menjadi bagian jawaban dari keseluruhan masalah. 

Memahami sumber merupakan kunci awal dari sebuah perjalanan siklus literasi informasi. Ketika seseorang dapat memahami masalah yang dihadapi, sebagian masalah tersebut sudah diselesaikan karena tahu apa yang akan dihadapi dan jalan keluar untuk menghadapinya. Dalam memahami masalah, sumber informasi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terbentuk teridentifikasi dan siap untuk ditemukan dan digunakan. Karena itu, mulailah sesuai dengan model literasi informasi : identifikasi masalah.

Mencari Informasi

ALA (2016)menyatakan bahwa Searching as Strategic Exploration yang artinya mencari informasi dengan berbagai cara, alat, dan strategi dipengaruhi oleh pemahaman, pengalaman dan pengetahuannya. Sebagai contoh, dalam penelitiannya, Proboyekti & Widyaningrum (2015) menemukan bahwa tugas pemrograman membawa mahasiswa menggunakan beberapa sumber informasi yang sudah pernah mereka pakai sebelumnya, seperti  website STACK OVER FLOW. Evaluasi terhadap informasi yang diperoleh adalah dengan mencoba potongan kode yang ditemukan, jika potongan kode tesebut berhasil membuat program mereka berfungsi, maka mereka percaya pada informasi yang diperoleh.  Pengalaman sebelumnya menentukan.  

Di era informasi ini, internet menjadi tempat pertama untuk mendapatkan jawaban untuk hampir semua pertanyaan. Tidak heran jika materi strategi pencarian di literasi informasi adalah strategi pencarian informasi di mesin pencari. Namun demikian pengalaman membawa seseorang tidak selalu memulai pencarian dari mesin pencari. Beberapa orang mengandalkan situs-situs tertentu untuk kebutuhan informasi tertentu. Kalaupun mesin pencari digunakan, maka mesin pencari itu hanya digunakan untuk menuju ke sumber-sumber yang telah dipercaya. 

Komunitas maya menjadi sumber informasi di Internet yang berharga bagi sebagian orang yang punya pengalaman dengan komunitas maya. Researchgate, Academia.edu, dan LinkedIn menjadi portal untuk mendapatkan sumber informasi langsung dari penulisnya. Orang bergabung dalam berbagai grup maya di sosial media untuk mendapatkan pengetahuan atau informasi tambahan berupa sumber-sumber terpercaya rekomendasi dari para ahli yang juga ada di sosial media. Ini sama halnya seperti para mahasiswa mendapatkan rekomendasi bacaan atau pustaka dari dosen mereka. Mereka tinggal menerima dan menggunakannya, tanpa repot mengevaluasi keabsahannya karena dosen mereka yang mengevaluasinya.
Hal lain tentang pencarian adalah hambatan bahasa. Miskinnya sumber informasi bermutu dalam Bahasa Indonesia membuat blog-blog yang kurang memperhatikan masalah HAKI dan plagiarisme. Blog-blog tersebut kemudian digunakan untuk hasilkan informasi ilmiah oleh pembelajar yang tidak paham. Ini menjadi masalah di kemudian hari. 

Hambatan dalam berbahasa Inggris adalah masalah nyata, tapitidak menjadi bahasan dalam program literasi informasi, padahal dengan strategi yang sederhana hambatan tersebut dapat diatasi. Penggunaan kamus online, termasuk Google Translate, thesaurus online, daftar subjek dalam database online, adalah bantuan-bantuan ringan yang membuat hambatan bahasa Inggris diatas denganmudah.  Oleh karena itu, dalam materi pencarian, beberapa peralatan yang membantu strategi pencarian dapat diperkenalkan. 

Database jurnal online juga menyediakan fasilitas yang membantu pembelajar melakukan pencarian dengan bahasa Inggris melalui subjek yang disediakan. Pencarian dapat mulai dari mengenali subjek-subjek yang disediakan, atau mulai dari  satu subjek sederhana yang dikenalinya. Setiap hasil pencarian dilengkapi dengan kata kunci atau subjek yang dapat digunakan untuk pencarian selanjutnya, bahkan saran pencarian yang lebih spesifik disajikan oleh database jurnal online. Dengan kata lain, strategi pencarian menolong pembelajar untuk berdaya melakukan pencarian tanpa terhambat masalah bahasa, baik karena kemampuan yang belum mencukupi atau karena kurang mengenal istilahnya.

Menemukan informasi

Pencarian informasi yang berujung pada penemuan informasi, evaluasi sumber informasi merupakan proses selanjutnya. Kriteria kunci yang digunakan oleh pembelajar adalah relevansi  antara informasi yang ditemukan dan kebutuhan informasinya(Proboyekti & Widyaningrum, 2015). Pembelajar perlu dibekali dengan kriteria-kriteria untuk mengevaluasi sumber informasi: 1. Informasi  sesuai dengan bidang keahlian penulisnya, 2. Penerbit informasi bertanggung jawab dan sesuai dengan bidang keahlian penulis, dan 4. Relevansi isi dan waktu. Evaluasi harus dilakukan karena banyaknya informasi yang disajikan tanpa memperhatikan kaidah HAKI, sementara informasi selalu memiliki nilai (ACRL Board, 2016)

Sosial media seperti Researchgate, Academia.Edu dan LinkedIn dapat membantu pembelajar untuk memeriksa keahlian penulis, kesesuaian dengan informasi yang dipublikasikan, dan organisasi yang berafiliasi dengannya.  Informasi yang diperoleh dari sosial media dapat digunakan untuk memeriksa ke website organisasinya untuk memastikan bahwa apa yang dituliskan sesuai. 

Evaluasi relevansi isi dapat dilakukan dengan menggunakan abstrak dari karya tulis, daftar isi dari buku, memeriksa kata kunci, kata pengantar sebuah buku, atau subjek dari sumber informasi. Kata pengantar sebuah buku misalnya, ketika dituliskan dengan benar, maka membantu pembaca untuk mengetahui struktur buku dan tingkat pembaca buku yang ditarget oleh penulis. Sebuah buku selalu punya target pembaca. Beberapa mentarget bukunya untuk pembaca dengan pengetahuan pemula, tetapi ada buku yang ditulis untuk target pembaca yang mempunyai pengetahuan pada tingkat tertentu. Pembelajar tingkat dasar yang tidak menyadari bahwa sumber informasi yang dipilihnya untuk tingkat lanjut akan menemukan bahwa sumber informasi tersebut tidak memiliki informasi yang diperlukan. 

Dari evaluasi sumber informasi dan informasi yang diperoleh dari kegiatan pencarian, langkah berikutnya adalah menggunakan informasi yang dievaluasi. Menggunakan informasi milik orang lain membutuhkan kesadaran akan tanggung jawab untuk mengakui kepemilikan orang lain terhadap informasi tersebut.

Menggunakan informasi dan Bertanggung jawab

Menggunakan informasi terkait dengan cara membaca informasi. Kemampuan membaca perlu menjadi perhatian pustakawan dalam program literasi informasi.Dengan kemampuan membaca yang tepat akan membuat pembelajar terbantu dalam mendapatkan informasi yang relevan bagi kebutuhan informasinya.
Membaca buku teks, artikel jurnal ilmiah, dan artikel dari website membutuhkan strategi tersendiri. Memperkenalkan struktur buku dan karya tulis ilmiah dapat menjadi materi yang mendasar dan bermanfaat ketika membaca sumber informasi dalam bentuk apapun.  Dengan mengetahui struktur karya tulis, membaca dan menemukan informasi yang dibutuhkan akan lebih mudah. Setelah itu hal yang penting adalah merekam informasi yang diperlukan. Software manajemen artikel atau sumber informasi seperti Mendeley atau Zotero akan sangat membantu pembelajar untuk merekam catatan-catatan hasil membaca, mengelola sumber informasi yang dikumpulkan dan dibaca, kemudian membantu membuat kutipan dan daftar pustaka dengan beberapa gaya yang berbeda tanpa kesalahan. 

Informasi dalam bentuk gambar, video dan audio perlu juga mendapatkan perhatian ketika informasi-informasi ini digunakan untuk membentuk sebuah informasi baru. Sebagai contoh dalam suatu presentasi, gambar/citra, foto, video atau audio menjadi bagian dari presentasi . Pembelajar perlu untuk dibekali cara menggabungkan dan menghargai karya orang lain dalam presentasinya. Pemahaman terhadap lisensi atau HAKI diperlukan untuk menghindarkan diri dari praktik plagiarisme.

Mendapatkan informasi-informasi tersebut sangat mudah di internet. Mengunduh video dari Youtube dan mengubahnya menjadi file audio, misalnya, adalah hal yang sangat mudah, tetapi mengakui hasil karya orang lain dalam informasi yang dihasilkan adalah hal lain.  Seperti misalnya tayangan di stasiun televisi yang menggunakan video-video dari Youtube, apakah cukup hanya dengan menuliskan:courtesy :  Youtube. Sementara jelas diketahui bahwa Youtube adalah media yang menyediakan ruang untuk berbagi tetapi bukan pemilik dari video-video tersebut. Hal ini perlu disadari oleh pembelajar agar mereka menjadikan pencantuman nama pembuat informasi dengan benar sebagai kebiasaan baru yang harus dilakukan ketika mereka menggunakan informasi apapun yang bukan milik mereka. 

Para pembelajar perlu mendapatkan banyak informasi mendasar terkait sumber informasi, penggunaannya dan cara menghargainya dalam program literasi informasi yang diadakan oleh perpustakaan. Banyaknya kemampuan yang akan diberikan akan membuat pustakawan perlu membuat strategi menyiapkan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan para pembelajar.

Strategi Program Literasi Informasi

Strategi penyampaian literasi informasi ada baiknya seperti konsep pilar. Tanpa harus menjelaskan tentang model literasi 7 Pillars SCONUL, hal yang khas dari model ini adalah maksud penggunaan pilar. Pilar mewakili kemampuan pada tiap elemen bertambah sesuai dengan tingkat literasi informasinya. Kemampuan idenfitikasi masalah pada mahasiswa tingkat awal, tidak akan sama dengan kemampuan mahasiswa tingkat akhir. Sekalipun dalam pilar yang sama, tingkat kemampuannya berbeda( SCONUL Working Group on Information Literacy, 2011). Hal ini yang perlu diperhatikan ketika program literasi informasi menjadi program wajib di perpustakaan akademik. 

Kesinambungan program tidak sekedar melakukan kegiatan secara regular dari semester ke semester oleh perpustakaan, tetapi juga menanamkan pembekalan kemampuan ini di kegiatan dalam mata kuliah. Dengan demikian literasi informasi menjadi tanggung jawab fakultas dan perpustakaan.  Hal ini akan membuat mahasiswa terlatih untuk berpikir kritis dan mandiri dalam proses belajar. 

Tugas akademik yang paling sering menjadi fokus dalam pelatihan literasi informasi adalah membuat paper.  Suatu tugas yang umum bagi mahasiswa segala jurusan. Materi literasi informasi terkait tugas paper belum tentu menyentuh kebutuhan informasi ketika ternyata tugas mahasiswa adalah observasi struktur Candi Boko, praktikum  membuat filter air sungai, merancang produk dari bahan bekas plastik, melakukan wawancara, membaca beberapa bab dari buku untuk ujian oral, atau membuat program komputer. Keragaman tugas mereka tentu saja tidak mungkin dijadikan fokus perhatian selama program literasi informasi, tapi tentunya dapat terjamah melalui materi literasi informasi yang membekali mereka dengan kemampuan dasar menggunakan informasi untuk berbagai keperluan(Cook & Klipfel, 2015)

Membekali mahasiswa dengan literasi informasi menjadi lebih berat ketika literasi informasi mereka tidak dikembangkan di tingkat pendidikan sebelumnya : SD sampai SMA.  Karena itu program literasi informasi seharusnya menjadi perhatian di sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. Kemandirian dalam proses belajar dimulai sejak dini. 

Program literasi informasi di pendidikan tinggi masih menitik beratkan pada program instruksional dalam kelas dengan materi dan latihan yang disiapkan dan disajikan kepada pembelajar. Dalam hal ini, ada dua hal yang perlu menjadi fokus dalam mempersiapkan materi dan strategi instruksional: cara mengajar yang membuat pembelajar menangkap informasi yang diberikan dan yang mendukung mereka transfer informasi tersebut ke domain lain (Cook & Klipfel, 2015). Transfer informasi ke domain lain artinya pembelajar mampu menangkap esensi dari materi dan menerapkanya pada konteks yang berbeda. Cook & Klipfel(2015) menetapkan 5 strategi dalam program instruksional literasi informasi  yang  didasari 2 fokus tadi :
  1.   Materi berorientasi untuk selesaikan masalah mereka: mulailah dari masalah yang mereka hadapi, bukan masalah umum yang tidak menyentuh kebutuhan mereka
  2.  Tentukan tujuan instruksional yang spesifik, 2 atau 3 tujuan cukup : tujuan materi jelas dan tidak banyak untuk dapat dicapai dalam waktu yang terbatas dilengkapi dengan latihan
  3. Sisipkan narasi/storytelling: narasi atau cerita selalu mudah ditangkap dan menarik, karena itu selalu sisipkan cerita yang relevan dan mengena bagi pembelajar.
  4. Fokus pada pengetahuan mendasar dan dalam : pengetahuan yang diberikan mendasar dan dalam sehingga mereka merasakan pentingnya pengetahuan dari materi yang disampaikan
  5. Latihan : latihan harus selalu ada untuk dapat membuktikan materi yang mereka terima dapat dipahami
Ke 5 strategi di atas perlu disesuaikan dengan situasi di perpustakaan pendidikan tinggi. Ada baiknya sebelum membuat program, telah diketahui apa ketrampilan yang diperlukan oleh pembelajar. Tujuan instruksional, dan kedalaman materi didasari pada kebutuhan ketrampilan untuk pembelajar. Selain itu tempat seperti lokasi dan ruang untuk menyampaikan materi disesuaikan karena mempengaruhi durasi waktu, jumlah pembelajar dalam satu sesi dan kemampuan serta jumlah pengajar yang akan terlibat. Peralatan lain seperti modul pendamping, dan materi latihan menjadi sesuatu yang perlu dipertimbangkan dalam melaksanakan program literasi informasi.

Bibliography

SCONUL Working Group on Information Literacy. (2011, April). The SCONUL Seven Pillars of Information Literacy Core Model for Higher Education. Retrieved Mei 11, 2013, from SCONUL: http://www.sconul.ac.uk/sites/default/files/documents/coremodel.pdf
ACRL Board. (2016, January 11). Framework for Information Literacy for Higher Education. Retrieved from Association of College and Research Libraries: http://www.ala.org/acrl/standards/ilframework
Cook, D. B., & Klipfel, K. M. (2015). How do our students learn? Reference & User Services Quarterly, 55(1), 34-41.
Proboyekti, U., & Widyaningrum, D. A. (2015). Identifikasi Kriteria Evaluasi Sumber Informasi untuk Kebutuhan Akademik Mahasiswa Studi kasus : Fakultas Teknologi Informasi UKDW. Universitas Kristen Duta Wacana, Fakultas Teknologi Informasi. Yogyakarta: Universitas Kristen Duta Wacana.

No comments: