Pages

Wednesday, July 13, 2016

Hadapi Information Overload dengan Literasi Informasi



Proboyekti, U. (2016). Hadapi Information Overload dengan Literasi Informasi. In Inovasi Teknologi Informasi untuk Kemajuan Bangsa (pp. 7-14). Yogyakarta: Penerbit Andi.

Pengertian Limpah-ruah Informasi

            Sebagai usaha untuk menggunakan Bahasa Indonesia, maka istilah information overload pada tulisan ini diterjemahkan bebas sebagai limpah-ruah informasi. Kata limpah ruah menggambarkan atau mewakili situasi ketersediaan informasi yang ada. Situasi ini terjadi karena informasi tersedia dalam berbagai format, elektronik atau tercetak, dan berasal dari berbagai sumber. 

Limpah-ruah informasi didefinisikan dalam konteks volume/jumlah, waktu dan kemampuan manusia mengolah informasi. Konteks volume  dan waktu mengacu pada jumlah informasi yang melimpah pada suatu waktu melebihi kemampuan manusia untuk mengolah informasi yang diterimanya dalam waktu tertentu. Sementara dalam konteks kemampuan manusia, ada kesenjangan antara manusia dan informasi yang tersedia karena manusia tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk mengolah informasi (Bidkar, 2012; Koltay, 2011).

Penyebab Limpah-Ruah Informasi

Jumlah informasi yang melimpah berasal dari setiap orang atau pihak yang merasa punya informasi menyajikan informasi dalam berbagai bentuk termasuk elektronik. Informasi dalam bentuk elektronik memudahkan pembuatan dan penyebaran. Hasil pencarian mesin pencari, seperti Google, dan informasi yang tersedia pada aplikasi Web 2.0 adalah contoh gambaran limpah-ruah informasi. Aplikasi serupa dimanfaatkan oleh perusahaan untuk berkomunikasi dengan rekanan dan pelanggan sehingga masukan dari banyak pihak untuk perusahaan berlimpah dan tidak mudah untuk dikelola(Strother, Ulijn, & Fazal, 2012).

Limpah-ruah informasimenyebabkan kurangnya efisiensi, efektifitas dan tingkat pemahaman dari penerima informasi. Limpah-ruah informasi, membuat respon mereka seadanya, dan akhirnya membuat mereka pasif, lalu berhenti menggunakan informasi. Selain itu, menghindar dari berbagai saluran informasi menjadi pilihan sehingga kehilangan kesempatan mendapatkan informasi. Hal ini mengakibatkan tidak adanya atau kurangnya informasi sehingga situasi menjadi sama sulitnya(Strother, Ulijn, & Fazal, 2012;Bidkar, 2012).
Prasanna Bidkar(2012) menyatakan bahwa informasi menjadi beban atau berlebihan (overload)  karena informasi sulit untuk dipahami dan membutuhkan sesumber kognisi yang tinggi. Kesulitan itu disebabkan adanya gangguan atau noise. Asal gangguan informasi dapat berasal dari sumber, kanal, dan penerima informasi/manusia. Gangguan yang berasal dari sumber informasi adalah bahasa, tata bahasa, kosa kata, kualitas, tampilan visual, desain, ukuran, resolusi, relevansi, jumlah sumber, bentuk huruf, warna, tata letak, dan prinsip Gestalt. Gangguan dari kanal informasi atau antarmuka adalah navigasi, tautan, index dan modality. Sementara gangguan dari penerima adalah pengetahuan awal, skema, dan mental model.
Keempat gangguan di atas dapat digolongkan menjadi dua kelompok: gangguan arsitektur informasi dan gangguan kemampuan manusia, penerima informasi. Gangguan dari penerima sangat bergantung pada pengetahuan yang dimiliki penerima untuk memproses informasi. Untuk memenuhi kebutuhan informasinya, seseorang perlu memiliki kemampuan untuk mendapatkan informasi dan memproses informasi.

Model Literasi Informasi

Kemampuan dalam menggunakan informasi dalam berbagai bentuk secara efisien, efektif dan etisdisebutliterasi informasi. Kemampuan ini digunakan untuk menyelesaikan masalah kebutuhan informasi. Kemampuan-kemampuan itu disusun dalam bentuk model literasi informasi. 

Model literasi terdiri dari langkah-langkah menjawab kebutuhan informasi. Setiap langkah mengandung kemampuan yang perlu dikuasai. Model literasi informasi yang disusun  Eisenberg dan Berkowitz(2013) bernama Big 6, terdiri dari 6 langkah:Task Definition, Information Seeking Strategies, Location and Access, Use of Information Synthesis, dan Evaluation.Sementara SCONUL (2011)mendefinisikan 7 langkah dalam SCONUL 7 Pillars Information Literacy Model: identify, scope, plan, gather, evaluate, manage dan present.

Kedua model literasi informasi menekankan kemampuan-kemampuan yang sama, yaitu :
  1.  Memahami kebutuhan informasi
  2.  Mampu menentukan strategi pencarian
  3.  Mampu mengevaluasi informasi yang sesuai dengan kebutuhan
  4.  Mampu mengelola informasi dan menggunakan informasi
  5.  Mampu menyajikan informasi dengan tepat
  6.  Mampu mengambil pelajaran/evaluasi proses
Literasi informasi bukanlah kemampuan yang tumbuh secara alami, namun membutuhkan usaha agar kemampuan-kemampuan itu dimiliki seseorang(Badke, 2010).Rangkaian kemampuan itu digunakan untuk memampukan seseorang dapat memenuhi kebutuhan informasinya secara mandiri pada tingkat apapun. 

            Model literasi Informasi SCONUL secara sengaja menjabarkan kemampuan berdasarkan tingkatan untuk setiap langkah pada model tersebut. Artinya, untuk setiap langkah orang yang memiliki tingkat literasi informasi yang tinggi memiliki kemampuan-kemampuan yang tercakup pada langkah tersebut. Misalnya mahasiswa semester awal kemampuan untuk mendefinisikan kebutuhan informasi tentu lebih sederhana dibandingkan mahasiswa tingkat akhir. Setiap kemampuan meningkat berdasarkan pengalaman, dan penambahan pengetahuan.  Sementara itu, Big 6 diterapkan di sekolah (SD- SMA) dan pendidikan tinggi. Setiap langkah memiliki penjabaran kemampuan yang lebih sederhana dibandingkan model literasi informasi SCONUL. Langkah-langkah tersebut adalah penuntun dalam menjawab kebutuhan informasi dan berhadapan dengan limpah-ruah informasi.

Limpah-Ruah Informasi dan Literasi Informasi

Generasi Net menghadapi limpah-ruah informasi dengan memilih yang paling mudah diakses dan tampak sesuai lalu mengabaikan sisanya sekalipun mungkin ada informasi yang lebih baik(Badke, 2010). Artinya, generasi net bisa jadi tidak merasa terbebani oleh banyaknya informasi dan tidak melihat kebutuhan untuk menerapkan literasi informasi. Mereka cukup memilih yang tampak sesuai atau cocok dengan kebutuhan informasinya (Proboyekti & Widyaningrum, 2015). Situasi ini tentu saja tidak membuat literasi informasi mereka meningkat. 

Badke( 2010) menyarankan 3 hal yang dapat dilakukan terhadap Generasi Net yang tak tanggap terhadap limpah-ruah informasi: membiarkan kemampuan meningkat dari pengalaman, mengajarkan kemampuan dasar saja, atau menjadikan literasi informasi fondasi. Evaluasi informasi adalah keharusan untuk memastikan keabsahan informasi selain relevansi kebutuhan. Peningkatan literasi informasi dengan membebaskan berdasarkan pengalaman tidak menyiapkan mereka hadapi situasi limpah-ruah informasi yang lebih rumit di kemudian hari. Sementara pelatihan literasi informasi dasar tidak pernah akan cukup karena kebutuhan informasi berpotensi meningkat, sehingga literasi informasi pun harus meningkat. Karena itu, literasi informasi menjadi fondasi penting dalam dunia akademik. Setiap pengajar bimbing mahasiswa atau siswanya untuk menggunakan dan mengakses informasi dengan mengevaluasinya terlebih dahulu. Peningkatan pengetahuan mereka dibarengi dengan peningkatan literasi informasi. 

Untuk membangun fondasi literasi informasi, perlu dibuat program yang bersifat spiral. Karena setiap kebutuhan informasi yang dipenuhi berakhir dengan pertanyaan atau kebutuhan informasi berikutnya, maka langkah literasi informasi dimulai lagi untuk tingkatan yang lebih tinggi. Dengan demikian, pengetahuan akan meningkat. Bawden dan Robinson (2002 ) menyebutnya ‘knowledge spiral. Materi-materi program tersebut :

  1.  recognition of a need for information/pengenalan kebutuhan informasi
  2.  choice of appropriate sources/ pemilihan sumber yang sesuai
  3.  information retrieval/penelusuran informasi
  4.  evaluation of retrieved information/evaluasi informasi
  5.   organization of information/mengelola informasi
  6.   manipulation and processing of information/ mengolah informasi
  7.   communication and storage of information/komunikasikan dan menyimpan informasi
  8.   effective use of informationpenggunaan informasi yang efektif

Pembekalan literasi informasi di lingkungan akademik selama ini menjadi perhatian dan tugas pustakawan. Dengan jumlah dan tenaga yang terbatas, pembekalan hanya terbatas pada literasi dasar . Pembekalan tanpa ada kesinambungan dan relasi dengan proses mengajar pada pengajar yang berhadapan dengan generasi Net.

Limpah-ruah informasi yang tidak menunjukkan tanda-tanda berkurang, akan membawa generasi Net ke kompleksitas kebutuhan informasi yang meningkat. Sementara kemampuan literasi informasi tidak meningkat dengan sendirinya. Rekayasa peningkatan ini perlu dilakukan dengan menjadikan literasi informasi sebagai kemampuan dasar yang tercakup dalam kegiatan akademik.

Pembekalan literasi informai dapat dimulai dari para pengajar atau pendidik. Kemampuan mereka dalam menggunakan informasi akan pengaruhi cara dan informasi yang disajikan di kelas, dan karya tulisnya. Model literasi 7 Pillars SCONUL dapat diadopsi untuk mendasari kemampuan yang dibutuhkan oleh para pengajar/ pendidik sesuai dengan tingkatnya. Sebagai contoh seorang pendidik/ pengajar, tidak hanya tahu cara mencari artikel jurnal di online database, tapi juga bisa membaca secara kritis. Tidak hanya dapat mengutip dari artikel dengan benar dan etis, tapi juga memastikan kualitas jurnal yang informasinya digunakan. Pendidik/ pengajar yanginformation literate pada akhirnya akan mengkondisikan bimbingannya dan mahasiswanya mampu melakukan hal yang sama walau dengan tingkat yang sesuai dengan kebutuhan mereka. 

Perpustakaan akademik dapat ambil bagian untuk membekal mahasiswa atau siswa baru dengan materi literasi informasi dasar yang disarankan oleh Bawden dan Robinson di atas. Kelas-kelas tutorial yang terjadwal dilaksanakan setiap tahun untuk membekali mahasiswa/ siswa dengan kemampuan yang mendukung mereka menjalani kehidupan akademik.

 Daftar Pustaka

SCONUL Working Group on Information Literacy. (2011, April). The SCONUL Seven Pillars of Information Literacy Core Model for Higher Education. Retrieved Mei 11, 2013, from SCONUL: http://www.sconul.ac.uk/sites/default/files/documents/coremodel.pdf
Badke, W. (2010). Information Overload? Maybe Not. Online, 34(05), 52–55. http://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Bawden, D., & Robinson, L. (2002 ). Promoting literacy in a digital age: Approaches to training for information literacy. Learned Publishing, 297-301.
Bidkar, P. (2012). Cost of Information Overload in End-User Documentation. In J. B. Strother, J. M. Ulijn, & Z. Fazal, Information Overload: An International Challenge for Professional Engineers and Technical Communicators. Hoboken, NJ: IEEE Press.
Eisenberg, M., & Berkowitz, R. E. (2013). Big6 Skills Overview. Retrieved Mei 11, 2013, from BIG 6: Information and Technology Skill for Student Success: http://big6.com/pages/about/big6-skills-overview.php
Koltay, T. (2011). Information Overload, Information Architecture and Digital Literacy. Bulletin of the American Society for Information Science and Technology, 33-35(1).
Proboyekti, U., & Widyaningrum, D. (2015). Identifikasi Kriteria Evaluasi Sumber Informasi untuk Kebutuhan Akademik Mahasiswa. Yogyakarta: FTI Universitas Kristen Duta Wacana.
Strother, J. B., Ulijn, J. M., & Fazal, Z. (2012). Information Overload: an Internation Challenge to Professional Enginneers and Technical Communicators. In J. B. Strother, J. M. Ulijn, & Z. Fazal, Information Overload: an Internation Challenge to Professional Enginneers and Technical Communicators. Hooboken, NJ: IEEE Press.

No comments: