Fakta
Pembelajaran
Pembelajaran
yang berlaku di perguruan tinggi pada umumnya masih menekankan pada kegiatan
tatap muka. Kehadiran teknologi informasi memberi variasi baru pada tatap muka
yang terjadi. Koneksi internet di kelas memberi kesempatan untuk menjelajah
informasi bersama dan berbagai temuan. Diskusi kelompok di kelas mendorong
pertukaran ide dan pengetahuan. Praktik di laboratorium atau di luar kelas
memberi kesempatan untuk mengalami sendiri yang didiskusikan di kelas dan
menemukan fakta untuk digali lebih dalam. Kegiatan mandiri mendorong mahasiswa
untuk menghasilkan produk informasi untuk membuktikan pemahaman dan menjadi
bahan penilaian. Dalam proses
menghasilkan produk informasi sesuai dengan bidang studinya, hasil sangat
ditentukan oleh kemampuan dan ketrampilan menggunakan peralatan atau teknologi
yang relevan dengan tugasnya. Kurangnya keterampilan dan pengetahuan membawa
mereka kepada situasi pencarian jawaban untuk menutup kesenjangan antara
kemampuan dan produk informasi yang akan dihasilkan. Kegiatan mandiri ini terhitung lebih lama
dibanding kegiatan tatap muka di kelas atau di laboratorium bersama pengajarnya.
Dengan demikian tempat bertanya tidak
selalu pengajarnya, sekalipun teknologi informasi memungkinkan. Sumber jawaban diperoleh dari rekan, atau
jawaban dari rekan di jejaring sosial.
Dari hasil
produk informasi yang dikumpulkan sebagai bukti pembelajaran, tidak jarang
hasilnya tidak lebih baik ketika produk yang mirip dikerjakan di kelas. Kontrol dan arahan dari pengajar ternyata
menentukan. Itu berarti kemampuan untuk menyerap informasi sebagai kontrol
dirinya kurang ketika mereka mengerjakan secara mandiri. Di samping itu,
kemampuan analisis terhadap masalah dan sumber informasi yang diperoleh tidak
mencukupi untuk menghasilkan produk informasi yang maksimal. Masalah ini terjadi pada mahasiswa berbagai
jurusan atau bidang studi. Mahasiswa dari Fakultas Teknologi Informasi
misalnya, sekalipun ketrampilan menggunakan komputer relatif lebih baik dari
pada mahasiswa dari Fakultas Filsafat atau Sastra misalnya, bukan berarti
tingkat berpikir kritis mereka lebih baik. Kemampuan analisis yang rendah salah
satunya karena kurangnya berpikir kritis.
Banyaknya
informasi yang hadir dengan mudah di keseharian mahasiswa tidak serta membuat mereka mampu berpikir kritis.
Informasi yang datang atau diperoleh sering diterima begitu saja tanpa
memperhatikan faktor-faktor penentu kesahihan sumber informasi. Masalah lain
adalah informasi yang didapatkan digunakan untuk membangun produk informasi
dengan cara yang salah. Kesalahan yang sering terjadi adalah mengutip sumber,
memberi apresiasi atau bahkan mengakui informasi yang diperoleh sebagai produk
informasinya. Ini masalah besar, masalah plagiasi yang tidak bisa ditolerir.
Pembelajar dan
Teknologi Informasi
Teknologi informasi memang tidak pernah absen dalam
pembelajaran. Sudah menjadi hal umum bahwa proses belajar dimulai dari
mengakses informasi di Internet, baik untuk mendapatkan ide maupun untuk
mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang timbul. Jejaring sosial Facebook
misalnya, menjadi tempat untuk bertanya baik dengan menuliskannya sebagai
status atau melontarkan pertanyaan di grup yang relevan. Misalnya seorang
mahasiswa Teknik Informatika melontarkan pertanyaan tentang solusi untuk
kesalahan logika pada programnya. Pertanyaan dilontarkan di grup Facebook
beserta cuplikan dari daftar kode programnya untuk mendapatkan jawaban dari
rekan-rekan lainnya ketimbang menanyakan ke dosen atau asisten dosennya. Cara
lain yang menjadi pilihan adalah menelusur informasi menggunakan mesin pencari
untuk mendapatkan contoh penggunaan dan penanganan kesalahan yang serupa dari
pengalaman orang lain.
Seperti halnya Facebook, Google drive (dulu Google
doc) juga berperan dalam melancarkan komunikasi ketika kebutuhan untuk berbagi
dokumen diperlukan. Berbagi di sini bukan sekedar untuk mendapatkan dokumen,
tetapi juga bekerja sama pada dokumen yang sama. Tugas paper yang dikerjakan
kelompok akan dapat dilakukan dengan Google drive. Dosen yang mengumumkan
rangkaian nilai yang berpotensi mendapatkan tanggapan dari mahasiswa, akan
mudah melakukan perubahan dalam sekejap selagi mahasiswa memeriksa hasil
perubahan. Sementara untuk berbagi e-book atau file yang perlu diunduh oleh
mahasiswa maka selain memanfaatkan Google drive, layanan cloud seperti Dropbox
memudahkan proses berbagi.
Sumber informasi lokal yang disimpan dalam repositori
lokal menjadi sumber informasi yang dibutuhkan juga dalam proses belajar.
Misalnya repositori tugas akhir, skripsi dan thesis mahasiswa dalam bentuk
digital. Akses dimungkinkan melalui aplikasi online yang disediakan. Sumber
informasi ini diperlukan untuk mahasiswa yang menjelang pengerjaan
skripsi/thesis/tugas akhir. Repositori yang mereka akses tidak terbatas pada
repositori lokal. Dengan terbukanya akses terhadap repositori serupa di
institusi lain, sumber informasi yang didapatkan lebih banyak dan beragam.
Mereka mencari ide penelitian, melihat contoh penulisan, mendapatkan sumber
pustaka yang relevan dan memastikan bahwa ide penelitiannya tidak sama dengan
yang sudah ada. Keterbukaan sumber informasi pada repositori lokal yang memuat
muatan lokal institusi merupakan aset berharga untuk dipublikasikan dan juga
dikontrol secara sosial. Karena itu penting sekali untuk mahasiswa mengetahui
dan memahami cara penggunaan informasi dari berbagai sumber. Ketidaktahuan
mereka dapat berakibat fatal dan pada kenyataannya banyak mahasiswa yang tidak
tahu bagaimana cara menggunakan informasi dari repositori tersebut dengan benar.
Ketidaktahuan cara penggunaan sumber informasi
berpotensi menghasilkan produk informasi yang tidak sahih dan berpotensi
terjadinya tindak plagiasi. Masih banyak mahasiswa yang tidak menyadari bahwa
informasi dari ensiklopedia dan blog tidak dapat digunakan sebagai sumber acuan
pada karya ilmiah mereka. Sementara itu,
WIKIPEDIA merupakan sumber informasi favorit yang menjadi tujuan pertama
mendapatkan informasi. Mereka tidak menyadari bahwa entri pada Wikipedia
berasal dari beberapa sumber yang perlu diperiksa lebih dahulu kesahihannya.
Demikian juga blog yang berisi tulisan-tulisan pribadi pemilik blog.
Tulisan-tulisan tersebut tidak
dipublikasikan melalui pemeriksaan/review dengan tanpa menyertakan sumber
pustakanya. Tidak jarang blog juga
berisi tulisan-tulisan orang lain yang ditayangkan tanpa pertimbangan hak cipta
atau kesahihan informasi. Ini bukan berarti Wikipedia dan blog tidak berguna,
tetapi mahasiswa perlu tahu bagaimana memanfaatkan kedua sumber informasi
tersebut.
Informasi digital dalam bentuk citra, grafik, video
dan audio menjadi informasi yang dibutuhkan oleh para pembelajar sesuai dengan
bidang studinya. Untuk format-format visual dan audio penggunaannya pun tidak
lepas dari ketidaktahuan. Misalnya ketika menyiapkan presentasi menggunakan
Power Point, informasi visual/audio sering menjadi bagian dari informasi yang
disiapkan. Tidak jarang informasi visual/audio diperoleh dari sumber lain tanpa
apresiasi atau pengakuan. Ini masalah serius. Ketidak-tahuan ini umum terjadi,
kalaupun tahu bahwa kurang tepat, masih banyak yang tidak tahu harus bagaimana.
Keterhubungan secara online memungkinkan informasi
masuk kapan saja dan sebagian informasi membutuhkan respon segera. Sebagian
informasi perlu segera diperoleh dan semua ini memungkinkan dengan teknologi
bergerak seperti smartphone/telpon pintar. Dengan teknologi bergerak ini
informasi diperoleh kapan saja dan dimana saja selama koneksi internet memadai.
Akses berbagai format informasi melalui smartphone dimungkinkan. Karena itu,
beberapa vendor database jurnal elektronik menyediakan akses melalui smartphone
untuk menjawab kebutuhan pengguna e-journal pelanggan mereka (Committee, 2012). Mereka menyadari bahwa pengguna smartphone
meningkat dari tahun ke tahun dan penggunaan smartphone lebih sering untuk
mengakses informasi dan berkomunikasi secara online melalui berbagai jejaring
sosial.
Jembatan
Kesenjangan Kebutuhan dan Informasi
Penjabaran di atas menggambarkan situasi umum
mahasiswa berkaitan dengan pembelajaran yang dijalani di perguruan tinggi. Ada
kesenjangan antara kebutuhan informasi urusan akademik/keseharian dan informasi
yang diperlukan. Kesenjangan ini umumnya tidak disadari sebagai masalah yang
perlu diatasi segera. Kesenjangan ini tidak hanya dialami oleh mahasiswa, para
dosen pun mengalami kesenjangan ini pada tingkat yang berbeda. Kemampuan
menggunakan informasi dengan efektif dan etis menjadi jembatan kesenjangan itu.
Karena itu harus ada yang mengupayakan agar kemampuan penggunaan informasi mahasiswa
dan juga dosen.
Kemampuan literasi informasi, kemampuan menggunakan
informasi secara efektif dan etis, sebenarnya dimiliki semua orang pada tingkat
tertentu. Hanya saja kemampuan ini tidak terjamin meningkat secara linier
dengan kebutuhan informasinya. Seperti penjelasan SCONUL 7 Pillars, model literasi informasi dari
SCONUL, digambarkan ada 7 pilar kemampuan untuk memenuhi kebutuhan informasi.
Ketujuh pilar itu adalah (SCONUL, 2011) :
1. Kemampuan
untuk paham kebutuhan informasi
2. Kemampuan
mengenali jenis informasi, karakteristik, dan tantangan untuk mendapatkan
informasi
3. Kemampuan
menentukan strategi pencarian dan kata kunci dari informasi
4. Kemampuan
melakukan pencarian dan akses informasi
5. Kemampuan
mengevaluasi relevansi, dan akurasi
6. Kemampuan
mengelola informasi, mengutip, susun bibliografi, dan menggunakan informasi secara etis
7. Kemampuan
menyusun produk informasi dalam bentuk yang tepat dan menyajikan dengan benar
sesuai dengan audiens.
Gambar 1 |
Model
literasi informasi SCONUL 7 Pillars dirancang untuk perguruan tinggi, berlaku
untuk dosen, mahasiswa dan pustakawan perguruan tinggi. Dengan memahami
kemampuan-kemampuan yang dijabarkan untuk setiap pilar dan memahami kebutuhan
informasi serta tantangan untuk menghasilkan produk di perguruan tinggi,
program literasi informasi dapat dirancang dan disiapkan. Model literasi
informasi lain seperti Big 6 juga dapat diadaptasi sekalipun peruntukannya
lebih umum dan sering digunakan untuk tingkat SD sampai SMA. Namun demikian 6 langkah dalam Big 6 (Task Definition, Information Seeking
Strategies, Location and Access, Use of Information, Synthesis, Evaluation)
(Eisenberg & Berkowitz, 2012) sesuai untuk
mahasiswa di perguruan tinggi. Langkah-langkah dalam SCONUL 7 Pillars dan Big6
serupa dan merupakan langkah-langkah yang biasanya memang dilakukan dalam
memenuhi kebutuhan informasi, hanya saja selama ini langkah-langkah tersebut
tidak disadari dan diberi label. Sekalipun demikian, kemampuan pada tiap
langkah sering kali tidak sempurna atau bahkan tidak ada, sehingga produk
informasi yang dihasilkan dianggap gagal, atau kurang sahih.
Literasi
Informasi : Tanggung Jawab Pustakawan
Perguruan tinggi menghadapi tantangan globalisasi
dengan adanya kemungkinan mahasiswa mengenyam pendidikan di beberapa perguruan
tinggi pada masa studi yang sama. Sertifikasi kompetensi menjadi saingan untuk
memenangkan lulusannya di dunia kerja (Jackson, 2012). Sementara calon mahasiswa yang masuk
memiliki kemampuan beragam sehingga kemampuan bersaing dengan menghasilkan
lulusan berkualitas tinggi terancam. Jackson (2012) juga menyatakan bahwa
bentuk pengajaran di perguruan tinggi akan menitik beratkan pada pengalaman,
praktek dan juga simulasi dengan menggunakan sumber-sumber yang sudah tersedia.
Kemandirian mahasiswa dalam kemampuan mengidentifikasikan pengalaman yang valid
dan tak valid serta sumber yang dapat diandalkan atau tidak, sangat menentukan
keberhasilan pembelajaran. Dalam kondisi seperti ini dikatakan bahwa
perpustakaan justru tidak mengadakan pelatihan literasi informasi. Jika
demikian maka program literasi informasi dibutuhkan dan menjadi tanggung jawab
pustakawan untuk dapat menyediakan pelatihan itu.
Sebuah contoh bagaimana pelatihan literasi informasi
diadakan untuk dosen dan mahasiswa di Departement of Art History, University of
Chicago, Illinois, USA oleh VRC ( Visual Resource Center). Visual Resource
Center yang mengkoleksi 1,3 juta koleksi visual dalam bentuk digital
: hasil scan, pembelian, dan berbagi dengan institusi lain. Visi VRC adalahmembantu
mahasiswa dan dosen untuk mencari, menciptakan dan menyajikan citra/image.
Beberapa tantangan dalam mewujudkan visi adalah
ketidaktahuan pengguna (mahasiswa dan dosen) tentang koleksi VRC,
ketidaknyamanan pengguna
dengan teknologi, dan information
overload (limpah ruah informasi yang tersediauntuk digunakan).
Untuk
membuat pengguna tahu tentang koleksi tersedia mereka memperlihatkan perbedaan
antara gambar/citra atau image yang
berasal dari Google atau web lain dibandingkan dengan koleksi VRC. Koleksi yang didapat dari Google sering
kurang lengkap karena merupakan hasil cropping, warna tidak tajam, informasi
tidak akurat dan kurang kredit/informasi author/asal. Usaha mereka memperkenalkan
koleksi dengan cara membandingkan ternyata punya efek. Mahasiswa dan dosen
mulai menggunakan koleksi VRC.
VRC juga melakukan
mediasi penggunaan teknologi di VRC
untuk bekerja dan belajar : seperti setting laptop, menggunakan
software, scanning objek, gunakan kamera dan projektor. Ternyata mahasiswa setelah tahu sesumber yang
berkualitas tinggi dan teknologinya, mereka sering merasa terintimidasi lebih
dari sebelumnya. Cara mengatasinya
adalah mereka terlibat dalam transisi koleksi slide 35 mm ke digital. Perubahan
teknologi ini mengurangi ketidaknyamanan, karena begitu mereka tahu/terlibat,
mereka dapat menggunakannya.
Fasilitas
aplikasi database LUNA dan ARTstor yang dimiliki dilengkapi dengan fungsi unduh
beberapa citra langsung dan dapat diunduh langsung ke power point untuk mereka
menyiapkan presentasi. Kemudahan ini membantu pengguna mengakses koleksi secara
mudah, tetapi pada waktu yang sama informasi menjadi berlimpah ruah. Ketersediaan
informasi yang begitu banyak menyulitkan pengguna (mahasiswa dan dosen) karena
itu staff VRC membantu pengguna untuk menggunakan dan menyusun digital image pada aplikasi LUNA dan
ARTstor. Selain itu LUNA dan ARTstor
memiliki antarmuka yang mudah: terdiri dari 3 tab FIND, CREATE dan
DISPLAY. Di Setiap halaman pengguna
dapat browsing atau retrieval. Blog yang
terupdate disediakan dan terbarui rutin berisi tips untuk menggunakan LUNA.
Selain itu ada pelatihan yang diadakan di perpustakaan seperti pelatihan sitasi dan manajemen sitasi, pelatihan
penggunaan video editing software untuk dosen, dan konsultasi penggunaan personal image management tools, seperti
Extensis Portfolio. Untuk itu staff VRC dibutuhkan untuk menguasai penggunaan tools yang diajarkan ke para dosen.
Keberhasilan staff VRC juga karena mereka bersedia terlibat diskusi informal
dan dosen/mahasiswa tentang layanan dan koleksi yang dimiliki dan seberapa
efektif layanan/koleksi membantu serta apa yang mereka butuhkan (Amanda, 2012). Secara khusus jenis
literasi informasi yang dilakukan oleh VRC adalah Visual Literacy. ACRL (2011) mendefinisikan Visual literacy
sebagai :
“Visual literacy is a set of abilities that
enables an individual to effectively find, interpret, evaluate, use, and create
images and visual media. Visual literacy skills equip a learner to understand
and analyze the contextual, cultural, ethical, aesthetic, intellectual, and
technical components involved in the production and use of visual materials”.
Kemampuan yang dijabarkan sama
persis dengan kemampuan dalam literasi informasi, hanya saja lebih spesifik
informasi yang menjadi fokus adalah image dan visual media. Karena itu
kemampuan yang dimiliki berkaitan dengan akses, evaluasi, pembuatan dan
pemanfaatan citra (image) dan media visual.
Proses Berawal
dari Dalam
Memikul tanggung jawab begitu besar tentunya
memerlukan visi, misi dan perencanaan ke depan dengan perhitungan. Beberapa hal
berikut adalah hal-hal yang diperlukan dalam mengadakan program literasi
informasi :
1. Observasi
kebutuhan komunitas
Seperti
halnya pengalaman VRC di atas, pembentukan program visual literacy diawali
dengan melakukan observasi kebutuhan pengguna. Dialog informal yang dilakukan
dengan mahasiswa dan dengan dosen menghasilkan informasi masalah-masalah yang
mereka hadapi dan harapan dari mereka untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Manfaatkan jejaring yang dimiliki untuk mendapatkan kesempatan untuk
berbincang, brainstorming dan bertukar pikiran tentang kesulitan dan masalah
mahasiswa dan/atau dosen dalam pembelajaran dan pengajaran. Perhatikan juga
silabus mata kuliah, produk informasi tugas mahasiswa, dan hasil penelitian
para dosen. Perbincangkan proses pembuatan suatu produk informasi : karya
tulis, poster, film, drama, rancangan/desain, website, dan program komputer misalnya. Cari tahu apa yang
menjadi tantangan dalam menghasilkan produk informasi, dan bagaimana
tantangan-tantangan itu diatasi. Hasil observasi tersebut sangat berharga untuk
mengenali kebutuhan informasi dan kesenjangan yang terjadi. Tidak hanya itu,
hasil observasi berpotensi menjadi karya tulis yang layak untuk dipublikasikan
untuk menjadi pertimbangan dan informasi bagi pihak lain.
2. Identifikasi
fasilitas dan teknologi
Program
literasi informasi dengan bentuk apapun membutuhkan fasilitas dan teknologi.
Teknologi di sini tidak selalu berarti teknologi informasi. Teknologi non
informasi pun bisa jadi dibutuhkan untuk program literasi informasi. Yang
penting, dari hasil observasi ditemukan beberapa peluang program literasi
informasi yang akan diadakan. Identifikasi fasilitas dan teknologi yang
dibutuhkan. Seberapa yang ada dapat disiapkan untuk digunakan, yang belum ada jika
memang memungkinkan untuk direncanakan ada untuk mendukung program literasi
informasi berikutnya. Fasilitas dapat
berupa kesempatan atau peluang yang didukung oleh kebijakan. Misalnya mendapat
kesempatan untuk memberikan program literasi informasi untuk mahasiswa baru
pada tingkat program studi atau fakultas atau bahkan universitas. Kesempatan
tersebut perlu disambut dan dimanfaatkan dengan baik. Hal lain yang mungkin
misalnya menyisipkan materi literasi informasi di mata kuliah tertentu untuk
mahasiswa dengan kebutuhan khusus, misalnya mahasiswa yang hendak KKN, atau
mahasiswa tingkat akhir yang akan membuat skripsi atau projek akhir.
Kesempatan-kesempatan seperti itu perlu dijajaki untuk berlanjut dan
meluas.
3. Penyiapan
sumber daya manusia
Sumber daya
manusia sering menjadi tantangan terbesar dalam program literasi informasi.
Berdasarkan pengalaman di FPPTI DIY periode 2010-2013, pelatihan terbanyak yang
dilakukan adalah pelatihan literasi informasi. Dua kali pelatihan untuk calon
instruktur, dan 7 pelatihan untuk berbagai kalangan. Tujuh pelatihan tersebut
dilakukan di 7 perpustakaan perguruan tinggi di Yogyakarta. Dari ketujuh
perpustakaan tersebut salah satunya adalah Perpustakaan Universitas Atma Jaya
Yogyakarta yang memanfaatkan pelatihan itu untuk melatih pustakawannya, dan
dari pelatihan tersebut mereka memberanikan diri untuk membuat program literasi
informasi untuk mahasiswa. Pustakawan yang tadinya hanya beberapa saja yang
berani mengajar, sekarang jumlah yang berani mengajar lebih banyak. Program
literasi informasi menjadi program wajib bagi mahasiswa baru. Sebuah pengalaman
yang tidak mudah menjalaninya tetapi mungkin untuk dilakukan. Metode saling
memberdayakan satu sama lain dan menularkan apa yang diketahui kepada
rekan-rekan pustakawan adalah cara yang efektif untuk dapat meningkatkan
kemampuan dan pemberdayaan pustakawan.
Pelatihan yang
diadakan oleh pihak lain bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan tetapi
mempraktekkan apa yang diketahui itu mengubah cara pandang dan menjadikan apa yang
diketahui menjadi ketrampilan.
4. Penetapan
bentuk program
Manfaatkan
informasi yang didapat dari observasi kebutuhan dan contoh-contoh yang ada di
Internet tentang program literasi informasi. Pelatihan literasi informasi dalam
bentuk tatap muka kelas mungkin menjadi hal yang amat mahal untuk dilakukan
mengingat SDM yang ada sangat terbatas. Akan tetapi bentuk lain seperti
informasi di web yang dapat diakses oleh smartphone dapat menjadi suatu program
sederhana yang mampu menjangkau mahasiswa dan dosen dimanapun mereka berada.
Mewartakan apa yang disediakan menjadi suatu hal yang harus dilakukan agar apa
yang disediakan dapat dimanfaatkan.
Bentuk lain
adalah pendampingan personal yang dapat diberikan kepada pengguna ketika mereka
membutuhkan. Poster-poster yang memberikan tips cara penggunaan sumber
informasi. Selebaran berupa kertas maupun selebaran online di jejaring sosial
berisi tips memanfaatkan informasi, mendapatkan informasi atau membuat produk
informasi dapat untuk membantu pengguna yang membutuhkan. Namun demikian, tidak
seharusnya berpuas diri ketika itu semua dapat dilakukan, inovasi dengan
teknologi informasi dan jejaring sosial dapat dimanfaatkan untuk menebarkan
pengetahuan-pengetahuan untuk meningkatkan kemampuan literasi informasi.
Pada akhirnya apapun yang
sudah dilakukan perlu didokumentasikan untuk dievaluasi. Dari evaluasi tersebut
ditemukan masalah yang belum diselesaikan dan ide-ide baru untuk program
selanjutnya. Sebagai penutup, Meredith Farkas (2011) menyatakan sesuatu yang menarik
tentang literasi informasi :
“Information literacy instruction should be
focused on helping people develop skills that will benefit them in answering
questions and informing decision-making throughout their lives, not just for
their next paper. Therefore, it’s critical that we develop instruction that
supports critical inquiry in this extremely complex information environment.”
Program literasi informasi
semestinya berfokus pada membantu orang mengembangkan keterampilan yang
memampukan mereka menjawab kebutuhan informasi dan membuat keputusan dalam
hidup mereka, tidak hanya untuk karya tulis mereka. Karena itu penting membuat
program yang mendukung berpikir kritis di lingkungan informasi yang kompleks.
Sumber pustaka :
ACRL. (2011, October 27). ACRL Visual Literacy
Competency Standards for Higher Education. Dipetik May 31, 2013, dari
American Library Association: http://www.ala.org/acrl/standards/visualiteracy
ACRL Research Planning and Review Committee.
(2012, June). 2012 Top Ten Trends in Academic Libraries : A Review of the
Trends and Issues Affecting Academic Libraries in Higher Education. College
and Research Library News Vol 73 , hal. 311-320.
Amanda, R. (2012).
Beyond Habit and Convention: Visual Literacy and the VRC. Public Servies
Quarterly 8:3 , 271-276.
Eisenberg, M., &
Berkowitz, R. (2012). What is the Big6? Dipetik November 8, 2012, dari
BIG 6: http://big6.com/pages/about.php
Farkas, M. (2011,
November 1). Information Literacy 2.0. Dipetik June 1, 2013, dari American
Libraries Magazine:
http://americanlibrariesmagazine.org/columns/practice/information-literacy-20
Jackson, G. (2012,
Oktober 3). Enterprise, IT, E-Learning, and Transformation: Prospect in Higher
Education. Educause Review , hal. http://www.educause.edu/ero/article/enterprise-it-elearning-and-transformation-prospects-higher-education.
Oakleaf, M. (2011). Are
They Learning? Are We? Learning Outcomes and the Academic Library. Library
Quarterly Vol 81. no.1 , 61-82.
SCONUL Working Group on
Literacy Informacy. (2011). The SCONUL 7 Pillars of Information Literacy :
Core Model for Higher Education. Dipetik June 2, 2013, dari SCONUL:
http://www.sconul.ac.uk/sites/default/files/documents/coremodel.pdf
Seminar Nasional
- Era Digital: Peluang dan
Tantangan Bagi Pengembangan Perpustakaan
Perpustakaan Institut Seni Indonesia Yogyakarta
Yogyakarta 5 Juni 2013
1 comment:
Tksh bu, informasinha
Tmn2 juga bisa visit ke http://www.literasiinformasi.com
Post a Comment