Dipresentasikan pada Seminar dan Launching Buku
Seri Literasi Informasi : Urgensi
dan Tantangan Literasi Informasi di Lembaga Tinggi - Perpustakaan Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 19 April 2016
Literasi Informasi
ALA(ACRL Board, 2016) menyusun sebuah
kerangka literasi informasi terbaru dan mendefinisikan literasi informasi
dengan definisi :
“Information literacy is the set of integrated abilities encompassing the reflective discovery of information, the understanding of how information is produced and valued, and the use of information in creating new knowledge and participating ethically in communities of learning” .
Secara sederhana, ALA
menjabarkan bahwa literasi informasi adalah sekumpulan kemampuan yang
terintegrasi/menyatu melampaui penelusuran informasi secara reflektif,
pemahaman cara informasi disusun dan dihargai, dan penggunaan informasi dalam
menghasilkan pengetahuan baru dan menjadi bagian dari komunitas belajar dengan
etika. Kemampuan yang menyatu berarti
setiap kemampuan pada tiap langkah yang didefinisikan dalam model literasi
informasi, apapun itu, saling terkait satu sama lain. Kemampuan mencari
informasi didukung dan didasari oleh kemampuan memahami masalah, mengevaluasi,
menggunakan dan menyajikan informasi dengan etis dan tepat.
Tulisan ini menjabarkan
literasi informasi didasari pada sebuah evaluasi terhadap buku seri literasi
informasi yang disusun oleh sekelompok pustakawan perpustakaan Universitas
Sanata Dharma dengan keberanian dan tekad untuk membekali pembelajar di
komunitasnya. Bahasan tulisan mengikuti judul yang diberikan yaitu mencari,
menemukan, dan menggunakan informasi dengan secara bertanggung jawab. Pembahasan
diawali dengan identifikasi masalah, sebuah kegiatan yang tidak dibahas secara
khusus pada buku tersebut.
Identifikasi Masalah
Proses mencari, menemukan
dan menggunakan informasi didasari kebutuhan akan informasi. Pemahaman terhadap
kebutuhan informasi tidak selalu mudah untuk dicapai. Seorang pembelajar ketika
berhadapan dengan pertanyaan atau masalah akademik, ada kalanya tidak langsung
dapat memahami apa yang menjadi pertanyaan atau masalah baginya. Karena itu
sesuai dengan model literasi informasi yang telah disusun seperti, Big 6,
Empowering 6, 7 Langkah literasi informasi, dan 7 Pillars Information Literacy
SCONUL, langkah pertama dimulai dengan identifikasi masalah.
Identifikasi masalah juga
memberi kesempatan bagi pembelajar untuk mengenal sumber informasi yang
tersedia baginya untuk diakses. Biasanya internet menjadi tujuan pertama bagi
siapapun yang membutuhkan informasi. Sumber lain seperti buku dan artikel
jurnal ilmiah menjadi tujuan berikutnya setelah internet dirasa tidak
memberikan apa yang dicari(Proboyekti & Widyaningrum, 2015). Di sinilah program
literasi informasi memberdayakan pembelajar untuk mempertimbangkan banyak
sumber informasi seperti buku teks,
karya tulis dari jurnal ilmiah dan blog:
1.
Buku teks
memiliki kemudahan akses, keragaman topik, format tercetak dan digital dan
lokasi akses yang beragam. Buku teks tidak dibatasi pada buku yang ada di
perpustakaan, tetapi juga buku yang tersedia dan dapat dibaca melalui Google
books. Pembelajar perlu tahu bahwa buku teks tidak perlu dibaca secara
keseluruhan, sehingga mereka dapat memanfaatkan bagian-bagian buku yang dibuka
oleh para penerbit dan dibaca. Buku yang berada di perpustakaan lain,
dimungkinkan untuk diakses melalui kerja sama antar perpustakaan.
2.
Ketersediaan
karya tulis ilmiah di jurnal tercetak, database online, open access mendapat
perhatian yang kecil bagi pembelajar di pendidikan tinggi S1. Keengganan karena
bahasa dan tidak pahamnya cara membaca artikel jurnal yang kritis dan strategis
menjadi penyebab rendahnya akses terhadap artikel jurnal. Pada kenyataannya
artikel jurnal ilmiah merupakan sumber informasi yang terbaru, dan diperlukan
oleh para pembelajar di pendidikan tinggi, apapun jenjangnya. Hasil karya penelitian
terbaru membantu pembelajar tahu kemajuan teknologi. Sementara buku teks
merupakan rangkuman dan isinya tidak selalu terbarui.
3.
Blog
merupakan sumber informasi yang banyak diminati pembelajar karena mudah
diperoleh, dibaca dan sering kali sesuai dengan kebutuhan (Proboyekti & Widyaningrum, 2015). Sekalipun banyak
blog yang penulisnya tidak memperhatikan etika penulisan dan penyebaran
informasi, namun tidak sedikit blog yang ditulis dengan baik dan ditulis sesuai
dengan keahlian penulisnya. Pembelajar perlu tahu cara mengevaluasi blog dan
menggunakan informasi di blog dengan benar sehingga informasi yang akan
dihasilkannya dapat dipertanggung jawabkan. Kemampuan literasi informasi
membuat pembelajar kritis dan mampu menghargai karya orang lain yang dibungkus
dalam berbagai format (ACRL Board, 2016). Sebagian penulis dan peneliti memiliki
blog untuk memberikan informasi terbaru tentang karya tulis dan hasil
penelitiannya dengan menjelaskan secara sederhana apa yang mereka tulis. Blog
semacam ini dapat dimanfaatkan pembelajar untuk mendapatkan informasi terbaru
dari para penulis.
Sifat sumber informasi
yang berbeda-beda satu sama lain perlu diketahui oleh pembelajar. Dengan
mengetahui karakteristik dari berbagai sumber informasi mereka terbantu untuk
memutuskan sumber informasi yang tersedia dan yang akan mereka gunakan ketika
mereka mengidentifikasikan masalah.
Memahami permasalahan
mendorong seseorang untuk melihat masalah yang dihadapinya dengan kritis
sehingga masalah yang awalnya dirasa sulit dapat diuraikan menjadi
bagian-bagian masalah yang lebih kecil dan mampu untuk dihadapi. Untuk memecah masalah menjadi sub-masalah,
pemetaan konsep atau mind mapping
dapat menjadi alat sederhana yang dapat digunakan. Selain itu membuat
pertanyaan dengan kata kunci 5W1 H (What, Why, Where, When, Who dan How) adalah
cara lain. Beberapa orang mungkin lebih suka menuangkan kerumitan dalam kalimat
yang dicurahkan untuk kemudian ditemukan kata-kata kunci yang menjadi inti dari
masalah. Jadi, banyak cara untuk dapat memahami permasalahan agar dapat
menemukan pertanyaan-pertanyaan atau sub-sub masalah yang lebih mudah untuk
dijawab atau dihadapi.
Dapat dibayangkan bahwa 1
sub-masalah dapat saja memerlukan satu siklus model literasi informasi untuk
menjawabnya sehingga untuk memecahkan masalah yang terdiri dari beberapa sub
masalah, seseorang perlu menjalani siklus model literasi informasi sebanyak
jumlah sub masalah yang teridentifikasi. Sebagai contoh, seorang pustakawan
diberi tugas untuk dapat membuat sebuah materi
evaluasi sumber informasi yang berbasis case-based learning dengan
memanfaatkan HTML 5 agar materi bersifat interaktif. Ada beberapa sub masalah
dalam tugas tersebut :
- Pustakawan belum memahami HTML 5
- Pustakawan belum menguasai materi evaluasi sumber informasi
- Jenis sumber informasi yang akan menjadi fokus belum ditetapkan
- Case-based learning masih perlu dipelajari
- Target dari materi belum ditetapkan
Untuk
setiap sub masalah di atas, maka pustakawan perlu menyelesaikannya satu demi
satu dengan kemampuan literasi informasinya. Setiap sub masalah menghasilkan
solusi yang akan menjadi bagian jawaban
dari keseluruhan masalah.
Memahami sumber merupakan
kunci awal dari sebuah perjalanan siklus literasi informasi. Ketika seseorang
dapat memahami masalah yang dihadapi, sebagian masalah tersebut sudah
diselesaikan karena tahu apa yang akan dihadapi dan jalan keluar untuk
menghadapinya. Dalam memahami masalah, sumber informasi untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang terbentuk teridentifikasi dan siap untuk ditemukan
dan digunakan. Karena itu, mulailah sesuai dengan model literasi informasi :
identifikasi masalah.
Mencari Informasi
ALA (2016)menyatakan bahwa Searching as Strategic Exploration yang
artinya mencari informasi dengan berbagai cara, alat, dan strategi dipengaruhi
oleh pemahaman, pengalaman dan pengetahuannya. Sebagai contoh, dalam penelitiannya,
Proboyekti & Widyaningrum (2015) menemukan bahwa
tugas pemrograman membawa mahasiswa menggunakan beberapa sumber informasi yang
sudah pernah mereka pakai sebelumnya, seperti
website STACK OVER FLOW. Evaluasi terhadap informasi yang diperoleh
adalah dengan mencoba potongan kode yang ditemukan, jika potongan kode tesebut
berhasil membuat program mereka berfungsi, maka mereka percaya pada informasi
yang diperoleh. Pengalaman sebelumnya
menentukan.
Di era informasi ini,
internet menjadi tempat pertama untuk mendapatkan jawaban untuk hampir semua
pertanyaan. Tidak heran jika materi strategi pencarian di literasi informasi
adalah strategi pencarian informasi di mesin pencari. Namun demikian pengalaman
membawa seseorang tidak selalu memulai pencarian dari mesin pencari. Beberapa
orang mengandalkan situs-situs tertentu untuk kebutuhan informasi tertentu.
Kalaupun mesin pencari digunakan, maka mesin pencari itu hanya digunakan untuk
menuju ke sumber-sumber yang telah dipercaya.
Komunitas maya menjadi
sumber informasi di Internet yang berharga bagi sebagian orang yang punya
pengalaman dengan komunitas maya. Researchgate, Academia.edu, dan LinkedIn
menjadi portal untuk mendapatkan sumber informasi langsung dari penulisnya.
Orang bergabung dalam berbagai grup maya di sosial media untuk mendapatkan
pengetahuan atau informasi tambahan berupa sumber-sumber terpercaya rekomendasi
dari para ahli yang juga ada di sosial media. Ini sama halnya seperti para
mahasiswa mendapatkan rekomendasi bacaan atau pustaka dari dosen mereka. Mereka
tinggal menerima dan menggunakannya, tanpa repot mengevaluasi keabsahannya
karena dosen mereka yang mengevaluasinya.
Hal lain tentang
pencarian adalah hambatan bahasa. Miskinnya sumber informasi bermutu dalam
Bahasa Indonesia membuat blog-blog yang kurang memperhatikan masalah HAKI dan
plagiarisme. Blog-blog tersebut kemudian digunakan untuk hasilkan informasi
ilmiah oleh pembelajar yang tidak paham. Ini menjadi masalah di kemudian hari.
Hambatan dalam berbahasa
Inggris adalah masalah nyata, tapitidak menjadi bahasan dalam program literasi
informasi, padahal dengan strategi yang sederhana hambatan tersebut dapat
diatasi. Penggunaan kamus online, termasuk Google Translate, thesaurus online,
daftar subjek dalam database online, adalah bantuan-bantuan ringan yang membuat
hambatan bahasa Inggris diatas denganmudah.
Oleh karena itu, dalam materi pencarian, beberapa peralatan yang
membantu strategi pencarian dapat diperkenalkan.
Database jurnal online
juga menyediakan fasilitas yang membantu pembelajar melakukan pencarian dengan
bahasa Inggris melalui subjek yang disediakan. Pencarian dapat mulai dari
mengenali subjek-subjek yang disediakan, atau mulai dari satu subjek sederhana yang dikenalinya.
Setiap hasil pencarian dilengkapi dengan kata kunci atau subjek yang dapat
digunakan untuk pencarian selanjutnya, bahkan saran pencarian yang lebih
spesifik disajikan oleh database jurnal online. Dengan kata lain, strategi
pencarian menolong pembelajar untuk berdaya melakukan pencarian tanpa terhambat
masalah bahasa, baik karena kemampuan yang belum mencukupi atau karena kurang
mengenal istilahnya.
Menemukan informasi
Pencarian informasi yang
berujung pada penemuan informasi, evaluasi sumber informasi merupakan proses
selanjutnya. Kriteria kunci yang digunakan oleh pembelajar adalah
relevansi antara informasi yang
ditemukan dan kebutuhan informasinya(Proboyekti & Widyaningrum, 2015). Pembelajar perlu
dibekali dengan kriteria-kriteria untuk mengevaluasi sumber informasi: 1.
Informasi sesuai dengan bidang keahlian
penulisnya, 2. Penerbit informasi bertanggung jawab dan sesuai dengan bidang
keahlian penulis, dan 4. Relevansi isi dan waktu. Evaluasi harus dilakukan
karena banyaknya informasi yang disajikan tanpa memperhatikan kaidah HAKI,
sementara informasi selalu memiliki nilai (ACRL Board, 2016).
Sosial media seperti
Researchgate, Academia.Edu dan LinkedIn dapat membantu pembelajar untuk
memeriksa keahlian penulis, kesesuaian dengan informasi yang dipublikasikan,
dan organisasi yang berafiliasi dengannya.
Informasi yang diperoleh dari sosial media dapat digunakan untuk
memeriksa ke website organisasinya untuk memastikan bahwa apa yang dituliskan
sesuai.
Evaluasi relevansi isi
dapat dilakukan dengan menggunakan abstrak dari karya tulis, daftar isi dari
buku, memeriksa kata kunci, kata pengantar sebuah buku, atau subjek dari sumber
informasi. Kata pengantar sebuah buku misalnya, ketika dituliskan dengan benar,
maka membantu pembaca untuk mengetahui struktur buku dan tingkat pembaca buku
yang ditarget oleh penulis. Sebuah buku selalu punya target pembaca. Beberapa
mentarget bukunya untuk pembaca dengan pengetahuan pemula, tetapi ada buku yang
ditulis untuk target pembaca yang mempunyai pengetahuan pada tingkat tertentu.
Pembelajar tingkat dasar yang tidak menyadari bahwa sumber informasi yang
dipilihnya untuk tingkat lanjut akan menemukan bahwa sumber informasi tersebut
tidak memiliki informasi yang diperlukan.
Dari evaluasi sumber
informasi dan informasi yang diperoleh dari kegiatan pencarian, langkah
berikutnya adalah menggunakan informasi yang dievaluasi. Menggunakan informasi
milik orang lain membutuhkan kesadaran akan tanggung jawab untuk mengakui
kepemilikan orang lain terhadap informasi tersebut.
Menggunakan informasi dan Bertanggung jawab
Menggunakan informasi
terkait dengan cara membaca informasi. Kemampuan membaca perlu menjadi
perhatian pustakawan dalam program literasi informasi.Dengan kemampuan membaca
yang tepat akan membuat pembelajar terbantu dalam mendapatkan informasi yang
relevan bagi kebutuhan informasinya.
Membaca buku teks,
artikel jurnal ilmiah, dan artikel dari website membutuhkan strategi
tersendiri. Memperkenalkan struktur buku dan karya tulis ilmiah dapat menjadi
materi yang mendasar dan bermanfaat ketika membaca sumber informasi dalam
bentuk apapun. Dengan mengetahui
struktur karya tulis, membaca dan menemukan informasi yang dibutuhkan akan
lebih mudah. Setelah itu hal yang penting adalah merekam informasi yang
diperlukan. Software manajemen artikel atau sumber informasi seperti Mendeley
atau Zotero akan sangat membantu pembelajar untuk merekam catatan-catatan hasil
membaca, mengelola sumber informasi yang dikumpulkan dan dibaca, kemudian
membantu membuat kutipan dan daftar pustaka dengan beberapa gaya yang berbeda
tanpa kesalahan.
Informasi dalam bentuk
gambar, video dan audio perlu juga mendapatkan perhatian ketika
informasi-informasi ini digunakan untuk membentuk sebuah informasi baru.
Sebagai contoh dalam suatu presentasi, gambar/citra, foto, video atau audio
menjadi bagian dari presentasi . Pembelajar perlu untuk dibekali cara
menggabungkan dan menghargai karya orang lain dalam presentasinya. Pemahaman
terhadap lisensi atau HAKI diperlukan untuk menghindarkan diri dari praktik
plagiarisme.
Para pembelajar perlu mendapatkan banyak informasi mendasar terkait sumber informasi, penggunaannya dan cara menghargainya dalam program literasi informasi yang diadakan oleh perpustakaan. Banyaknya kemampuan yang akan diberikan akan membuat pustakawan perlu membuat strategi menyiapkan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan para pembelajar.
Strategi Program Literasi Informasi
Strategi penyampaian
literasi informasi ada baiknya seperti konsep pilar. Tanpa harus menjelaskan
tentang model literasi 7 Pillars SCONUL, hal yang khas dari model ini adalah
maksud penggunaan pilar. Pilar mewakili kemampuan pada tiap elemen bertambah
sesuai dengan tingkat literasi informasinya. Kemampuan idenfitikasi masalah
pada mahasiswa tingkat awal, tidak akan sama dengan kemampuan mahasiswa tingkat
akhir. Sekalipun dalam pilar yang sama, tingkat kemampuannya berbeda( SCONUL Working Group on Information Literacy, 2011). Hal ini yang perlu
diperhatikan ketika program literasi informasi menjadi program wajib di
perpustakaan akademik.
Kesinambungan program
tidak sekedar melakukan kegiatan secara regular dari semester ke semester oleh
perpustakaan, tetapi juga menanamkan pembekalan kemampuan ini di kegiatan dalam
mata kuliah. Dengan demikian literasi informasi menjadi tanggung jawab fakultas
dan perpustakaan. Hal ini akan membuat
mahasiswa terlatih untuk berpikir kritis dan mandiri dalam proses belajar.
Tugas akademik yang paling
sering menjadi fokus dalam pelatihan literasi informasi adalah membuat
paper. Suatu tugas yang umum bagi
mahasiswa segala jurusan. Materi literasi informasi terkait tugas paper belum
tentu menyentuh kebutuhan informasi ketika ternyata tugas mahasiswa adalah
observasi struktur Candi Boko, praktikum
membuat filter air sungai, merancang produk dari bahan bekas plastik,
melakukan wawancara, membaca beberapa bab dari buku untuk ujian oral, atau
membuat program komputer. Keragaman tugas mereka tentu saja tidak mungkin
dijadikan fokus perhatian selama program literasi informasi, tapi tentunya
dapat terjamah melalui materi literasi informasi yang membekali mereka dengan
kemampuan dasar menggunakan informasi untuk berbagai keperluan(Cook & Klipfel, 2015).
Membekali mahasiswa
dengan literasi informasi menjadi lebih berat ketika literasi informasi mereka
tidak dikembangkan di tingkat pendidikan sebelumnya : SD sampai SMA. Karena itu program literasi informasi
seharusnya menjadi perhatian di sekolah dasar sampai sekolah menengah atas.
Kemandirian dalam proses belajar dimulai sejak dini.
Program literasi
informasi di pendidikan tinggi masih menitik beratkan pada program
instruksional dalam kelas dengan materi dan latihan yang disiapkan dan
disajikan kepada pembelajar. Dalam hal ini, ada dua hal yang perlu menjadi
fokus dalam mempersiapkan materi dan strategi instruksional: cara mengajar yang
membuat pembelajar menangkap informasi yang diberikan dan yang mendukung mereka
transfer informasi tersebut ke domain lain (Cook & Klipfel, 2015). Transfer informasi
ke domain lain artinya pembelajar mampu menangkap esensi dari materi dan
menerapkanya pada konteks yang berbeda. Cook & Klipfel(2015) menetapkan 5
strategi dalam program instruksional literasi informasi yang
didasari 2 fokus tadi :
- Materi berorientasi untuk selesaikan masalah mereka: mulailah dari masalah yang mereka hadapi, bukan masalah umum yang tidak menyentuh kebutuhan mereka
- Tentukan tujuan instruksional yang spesifik, 2 atau 3 tujuan cukup : tujuan materi jelas dan tidak banyak untuk dapat dicapai dalam waktu yang terbatas dilengkapi dengan latihan
- Sisipkan narasi/storytelling: narasi atau cerita selalu mudah ditangkap dan menarik, karena itu selalu sisipkan cerita yang relevan dan mengena bagi pembelajar.
- Fokus pada pengetahuan mendasar dan dalam : pengetahuan yang diberikan mendasar dan dalam sehingga mereka merasakan pentingnya pengetahuan dari materi yang disampaikan
- Latihan : latihan harus selalu ada untuk dapat membuktikan materi yang mereka terima dapat dipahami
Ke 5 strategi di atas
perlu disesuaikan dengan situasi di perpustakaan pendidikan tinggi. Ada baiknya
sebelum membuat program, telah diketahui apa ketrampilan yang diperlukan oleh
pembelajar. Tujuan instruksional, dan kedalaman materi didasari pada kebutuhan
ketrampilan untuk pembelajar. Selain itu tempat seperti lokasi dan ruang untuk
menyampaikan materi disesuaikan karena mempengaruhi durasi waktu, jumlah
pembelajar dalam satu sesi dan kemampuan serta jumlah pengajar yang akan
terlibat. Peralatan lain seperti modul pendamping, dan materi latihan menjadi
sesuatu yang perlu dipertimbangkan dalam melaksanakan program literasi informasi.
Bibliography
SCONUL Working Group on Information
Literacy. (2011, April). The SCONUL Seven Pillars of Information Literacy
Core Model for Higher Education. Retrieved Mei 11, 2013, from SCONUL:
http://www.sconul.ac.uk/sites/default/files/documents/coremodel.pdf
ACRL
Board. (2016, January 11). Framework for Information Literacy for Higher
Education. Retrieved from Association of College and Research Libraries:
http://www.ala.org/acrl/standards/ilframework
Cook, D.
B., & Klipfel, K. M. (2015). How do our students learn? Reference
& User Services Quarterly, 55(1), 34-41.
Proboyekti,
U., & Widyaningrum, D. A. (2015). Identifikasi Kriteria Evaluasi
Sumber Informasi untuk Kebutuhan Akademik Mahasiswa Studi kasus : Fakultas Teknologi
Informasi UKDW. Universitas Kristen Duta Wacana, Fakultas Teknologi
Informasi. Yogyakarta: Universitas Kristen Duta Wacana.
No comments:
Post a Comment