Proboyekti, U. (2016). Hadapi Information Overload dengan Literasi Informasi. In Inovasi Teknologi Informasi untuk Kemajuan Bangsa (pp. 7-14). Yogyakarta: Penerbit Andi.
Pengertian Limpah-ruah Informasi
Sebagai usaha untuk menggunakan Bahasa Indonesia, maka
istilah information overload pada
tulisan ini diterjemahkan bebas sebagai limpah-ruah informasi. Kata limpah ruah menggambarkan atau mewakili situasi ketersediaan
informasi yang ada. Situasi ini
terjadi karena informasi tersedia dalam berbagai format, elektronik atau
tercetak, dan berasal dari berbagai sumber.
Limpah-ruah informasi didefinisikan dalam konteks volume/jumlah, waktu dan
kemampuan manusia mengolah informasi. Konteks volume dan waktu mengacu pada jumlah informasi yang
melimpah pada suatu waktu melebihi kemampuan manusia untuk mengolah informasi
yang diterimanya dalam waktu tertentu. Sementara dalam konteks kemampuan
manusia, ada kesenjangan antara manusia dan informasi yang tersedia karena
manusia tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk mengolah informasi (Bidkar, 2012; Koltay, 2011).
Penyebab Limpah-Ruah Informasi
Jumlah informasi yang melimpah berasal dari setiap orang atau pihak yang
merasa punya informasi menyajikan informasi dalam berbagai bentuk termasuk
elektronik. Informasi dalam bentuk elektronik memudahkan pembuatan dan
penyebaran. Hasil pencarian mesin pencari, seperti Google, dan informasi yang
tersedia pada aplikasi Web 2.0 adalah contoh gambaran limpah-ruah informasi. Aplikasi
serupa dimanfaatkan oleh perusahaan untuk berkomunikasi dengan rekanan dan
pelanggan sehingga masukan dari banyak pihak untuk perusahaan berlimpah dan
tidak mudah untuk dikelola(Strother, Ulijn, & Fazal, 2012).
Limpah-ruah informasimenyebabkan kurangnya efisiensi, efektifitas dan
tingkat pemahaman dari penerima informasi. Limpah-ruah informasi, membuat
respon mereka seadanya, dan akhirnya membuat mereka pasif, lalu berhenti menggunakan
informasi. Selain itu, menghindar dari berbagai saluran informasi menjadi
pilihan sehingga kehilangan kesempatan mendapatkan informasi. Hal ini mengakibatkan
tidak adanya atau kurangnya informasi sehingga situasi menjadi sama sulitnya(Strother, Ulijn, & Fazal, 2012;Bidkar, 2012).
Prasanna Bidkar(2012) menyatakan bahwa informasi
menjadi beban atau berlebihan (overload)
karena informasi sulit untuk dipahami
dan membutuhkan sesumber kognisi yang tinggi. Kesulitan itu disebabkan adanya
gangguan atau noise. Asal gangguan informasi dapat berasal dari sumber, kanal,
dan penerima informasi/manusia. Gangguan yang berasal dari sumber informasi
adalah bahasa, tata bahasa, kosa kata, kualitas, tampilan visual, desain,
ukuran, resolusi, relevansi, jumlah sumber, bentuk huruf, warna, tata letak,
dan prinsip Gestalt. Gangguan dari kanal informasi atau antarmuka adalah
navigasi, tautan, index dan modality. Sementara gangguan dari
penerima adalah pengetahuan awal, skema, dan mental model.
Keempat gangguan di atas dapat digolongkan menjadi
dua kelompok: gangguan arsitektur informasi dan gangguan kemampuan manusia,
penerima informasi. Gangguan dari penerima sangat bergantung pada pengetahuan
yang dimiliki penerima untuk memproses informasi. Untuk memenuhi kebutuhan
informasinya, seseorang perlu memiliki kemampuan untuk mendapatkan informasi
dan memproses informasi.
Model Literasi Informasi
Kemampuan dalam menggunakan informasi dalam berbagai
bentuk secara efisien, efektif dan etisdisebutliterasi informasi. Kemampuan ini
digunakan untuk menyelesaikan masalah kebutuhan informasi. Kemampuan-kemampuan
itu disusun dalam bentuk model literasi informasi.
Model literasi terdiri dari langkah-langkah
menjawab kebutuhan informasi. Setiap langkah mengandung kemampuan yang perlu
dikuasai. Model literasi informasi yang disusun Eisenberg dan Berkowitz(2013) bernama Big 6,
terdiri dari 6 langkah:Task Definition, Information Seeking Strategies,
Location and Access, Use of Information Synthesis, dan Evaluation.Sementara
SCONUL (2011)mendefinisikan 7 langkah
dalam SCONUL 7 Pillars Information
Literacy Model: identify, scope, plan, gather, evaluate, manage dan present.
Kedua model literasi informasi menekankan kemampuan-kemampuan yang sama,
yaitu :
- Memahami kebutuhan informasi
- Mampu menentukan strategi pencarian
- Mampu mengevaluasi informasi yang sesuai dengan kebutuhan
- Mampu mengelola informasi dan menggunakan informasi
- Mampu menyajikan informasi dengan tepat
- Mampu mengambil pelajaran/evaluasi proses
Literasi informasi
bukanlah kemampuan yang tumbuh secara alami, namun membutuhkan usaha agar
kemampuan-kemampuan itu dimiliki seseorang(Badke, 2010).Rangkaian kemampuan itu digunakan untuk
memampukan seseorang dapat memenuhi kebutuhan informasinya secara mandiri pada
tingkat apapun.
Model literasi Informasi SCONUL secara sengaja
menjabarkan kemampuan berdasarkan tingkatan untuk setiap langkah pada model
tersebut. Artinya, untuk setiap langkah orang yang memiliki tingkat literasi
informasi yang tinggi memiliki kemampuan-kemampuan yang tercakup pada langkah tersebut.
Misalnya mahasiswa semester awal kemampuan untuk mendefinisikan kebutuhan
informasi tentu lebih sederhana dibandingkan mahasiswa tingkat akhir. Setiap
kemampuan meningkat berdasarkan pengalaman, dan penambahan pengetahuan. Sementara itu, Big 6 diterapkan di sekolah
(SD- SMA) dan pendidikan tinggi. Setiap langkah memiliki penjabaran kemampuan
yang lebih sederhana dibandingkan model literasi informasi SCONUL. Langkah-langkah
tersebut adalah penuntun dalam menjawab kebutuhan informasi dan berhadapan
dengan limpah-ruah informasi.
Limpah-Ruah Informasi dan Literasi Informasi
Generasi Net menghadapi limpah-ruah informasi dengan memilih yang paling
mudah diakses dan tampak sesuai lalu mengabaikan sisanya sekalipun mungkin ada
informasi yang lebih baik(Badke, 2010). Artinya, generasi net bisa jadi tidak merasa
terbebani oleh banyaknya informasi dan tidak melihat kebutuhan untuk menerapkan
literasi informasi. Mereka cukup memilih yang tampak sesuai atau cocok dengan
kebutuhan informasinya (Proboyekti & Widyaningrum, 2015). Situasi ini tentu
saja tidak membuat literasi informasi mereka meningkat.
Badke( 2010) menyarankan 3 hal yang dapat dilakukan terhadap
Generasi Net yang tak tanggap terhadap limpah-ruah informasi: membiarkan kemampuan meningkat dari
pengalaman, mengajarkan kemampuan
dasar saja, atau menjadikan literasi
informasi fondasi. Evaluasi informasi adalah keharusan untuk memastikan
keabsahan informasi selain relevansi kebutuhan. Peningkatan literasi informasi
dengan membebaskan berdasarkan pengalaman tidak menyiapkan mereka hadapi
situasi limpah-ruah informasi yang lebih rumit di kemudian hari. Sementara pelatihan
literasi informasi dasar tidak pernah akan cukup karena kebutuhan informasi
berpotensi meningkat, sehingga literasi informasi pun harus meningkat. Karena
itu, literasi informasi menjadi fondasi penting dalam dunia akademik. Setiap
pengajar bimbing mahasiswa atau siswanya untuk menggunakan dan mengakses
informasi dengan mengevaluasinya terlebih dahulu. Peningkatan pengetahuan
mereka dibarengi dengan peningkatan literasi informasi.
Untuk membangun fondasi literasi informasi, perlu dibuat program yang bersifat
spiral. Karena setiap kebutuhan informasi yang dipenuhi berakhir dengan
pertanyaan atau kebutuhan informasi berikutnya, maka langkah literasi informasi
dimulai lagi untuk tingkatan yang lebih tinggi. Dengan demikian, pengetahuan akan
meningkat. Bawden dan Robinson (2002 ) menyebutnya ‘knowledge spiral. Materi-materi program
tersebut :
- recognition of a need for information/pengenalan kebutuhan informasi
- choice of appropriate sources/ pemilihan sumber yang sesuai
- information retrieval/penelusuran informasi
- evaluation of retrieved information/evaluasi informasi
- organization of information/mengelola informasi
- manipulation and processing of information/ mengolah informasi
- communication and storage of information/komunikasikan dan menyimpan informasi
- effective use of informationpenggunaan informasi yang efektif
Pembekalan literasi informasi di lingkungan akademik selama ini menjadi
perhatian dan tugas pustakawan. Dengan jumlah dan tenaga yang terbatas,
pembekalan hanya terbatas pada literasi dasar . Pembekalan tanpa ada
kesinambungan dan relasi dengan proses mengajar pada pengajar yang berhadapan
dengan generasi Net.
Limpah-ruah informasi yang tidak menunjukkan tanda-tanda berkurang, akan
membawa generasi Net ke kompleksitas kebutuhan informasi yang meningkat.
Sementara kemampuan literasi informasi tidak meningkat dengan sendirinya.
Rekayasa peningkatan ini perlu dilakukan dengan menjadikan literasi informasi
sebagai kemampuan dasar yang tercakup dalam kegiatan akademik.
Pembekalan literasi informai dapat dimulai dari para pengajar atau
pendidik. Kemampuan mereka dalam menggunakan informasi akan pengaruhi cara dan
informasi yang disajikan di kelas, dan karya tulisnya. Model literasi 7 Pillars
SCONUL dapat diadopsi untuk mendasari kemampuan yang dibutuhkan oleh para
pengajar/ pendidik sesuai dengan tingkatnya. Sebagai contoh seorang pendidik/
pengajar, tidak hanya tahu cara mencari artikel jurnal di online database, tapi juga bisa membaca secara kritis. Tidak hanya
dapat mengutip dari artikel dengan benar dan etis, tapi juga memastikan
kualitas jurnal yang informasinya digunakan. Pendidik/ pengajar yanginformation literate pada akhirnya akan
mengkondisikan bimbingannya dan mahasiswanya mampu melakukan hal yang sama
walau dengan tingkat yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Perpustakaan akademik dapat ambil bagian untuk membekal mahasiswa atau
siswa baru dengan materi literasi informasi dasar yang disarankan oleh Bawden
dan Robinson di atas. Kelas-kelas tutorial yang terjadwal dilaksanakan setiap
tahun untuk membekali mahasiswa/ siswa dengan kemampuan yang mendukung mereka
menjalani kehidupan akademik.
Daftar Pustaka
SCONUL Working Group on Information
Literacy. (2011, April). The SCONUL Seven Pillars of Information Literacy
Core Model for Higher Education. Retrieved Mei 11, 2013, from SCONUL:
http://www.sconul.ac.uk/sites/default/files/documents/coremodel.pdf
Badke, W. (2010). Information Overload? Maybe Not. Online,
34(05), 52–55. http://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Bawden, D., & Robinson, L. (2002 ).
Promoting literacy in a digital age: Approaches to training for information
literacy. Learned Publishing, 297-301.
Bidkar, P. (2012). Cost of Information
Overload in End-User Documentation. In J. B. Strother, J. M. Ulijn, & Z.
Fazal, Information Overload: An International Challenge for Professional
Engineers and Technical Communicators. Hoboken, NJ: IEEE Press.
Eisenberg, M.,
& Berkowitz, R. E. (2013). Big6 Skills Overview. Retrieved Mei 11,
2013, from BIG 6: Information and Technology Skill for Student Success:
http://big6.com/pages/about/big6-skills-overview.php
Koltay, T. (2011). Information Overload, Information
Architecture and Digital Literacy. Bulletin of the American Society for
Information Science and Technology, 33-35(1).
Proboyekti, U.,
& Widyaningrum, D. (2015). Identifikasi Kriteria Evaluasi Sumber
Informasi untuk Kebutuhan Akademik Mahasiswa. Yogyakarta: FTI Universitas
Kristen Duta Wacana.
Strother, J.
B., Ulijn, J. M., & Fazal, Z. (2012). Information Overload: an Internation
Challenge to Professional Enginneers and Technical Communicators. In J. B.
Strother, J. M. Ulijn, & Z. Fazal, Information Overload: an Internation
Challenge to Professional Enginneers and Technical Communicators.
Hooboken, NJ: IEEE Press.
No comments:
Post a Comment