Pages

Monday, June 08, 2009

Digital Humanities

Workshop on Digital Humanities: Global Technologies and Local Knowledge tgl 19-22 Mei 2009 di Hong Kong merupakan workshop yang memberikan banyak inspirasi kepada semua peserta. Hal yang unik dari penyelenggaraan workshop ini adalah, sebagian peserta adalah pembicara yang membagikan proyek-proyek yang berkaitan dengan pelestarian koleksi kearifan lokal yang dipublikasikan dengan berbagai cara agar kearifan tersebut tidak hilang dan dapat dikenal secara luas melalui teknologi informasi yang mengglobal.

Para peserta datang dari berbagai negara di Asia : Indonesia, Timor Leste, Thailand, Vietnam, Taiwan, China, Korea, Filipina dan India. Berbagi informasi di antara para peserta selama workshop berlangsung sangat intensif secara kolektif dalam setiap sesi, termasuk saat duduk bersama di meja makan dan saat berada dalam shuttle bus. Sesi-sesi yang terangkai sejak pagi hingga malam memang melelahkan, tetapi sangat inspiratif sehingga setiap peserta terinspirasi dengan ide-ide baru. Sementara itu penyajian materi didukung dengan sarana teknologi yang beragam, termasuk telekonferensi yang dilakukan untuk para pembicara yang berada di luar Hong Kong dan di zona waktu yang jauh berbeda.

Pelestarian kearifan lokal yang dikerjakan di Tibet, Korea Selatan, Filipina, Cina dan Thailand dilakukan dengan metode atau cara yang berbeda oleh kelompok akademik.

Kearifan lokal di Tibet melibatkan mahasiswa matakuliah Bahasa Inggris yang mendapat tugas untuk mengabadikan karya-karya budaya dalam segala bentuk. Upacara tradisional, alat-alat masak, makanan, alat rumah tangga, pakaian adat dan sebagainya direkam dengan kamera digital bekas dan kamera video. Mereka harus mencari informasi tentang objek yang mereka rekam, lalu informasi tersebut dituliskan dalam Bahasa Inggris dengan baik. Hasil-hasil rekaman tersebut disajikan dalam suatu website untuk disajikan secara global. Dengan metode ini mahasiswa belajar Bahasa Inggris untuk berbagai aktifitas seperti : belajar menggunakan alat-alat digital, berdiskusi tentang lokasi dan jenis budaya yang akan diamati, belajar membangun website dan mempersiapkan narasi hasil rekaman. Dengan demikian kemampuan mahasiswa setelah mengikuti kuliah Bahasa Inggris ini tidak hanya seputar tentang Bahasa Inggris saja.

Ewha University di Korea Selatan punya matakuliah lain yaitu Digital Humanities yang memang fokusnya adalah berkaitan dengan dua hal: digital dan humanities. Pelestarian karakter tradisional Dokkaebi dengan menggunakan teknologi digital menjadi salah satu proyek yang dikembangkan bersama-sama dengan mahasiswa. Karakter-karakter yang dimanusiakan dilestarikan dan dipromosikan lewat sebuah permainan karakter 3 dimensi online.

Pelestarian budaya juga dilakukan di Thailand oleh Payap University. Suatu proyek khusus diselenggarakan untuk mengumpulkan informasi-informasi tentang tradisi suatu kelompok masyarakat yang mulai punah. Semua hasil temuan digunakan untuk penelitian selanjutnya dan disebarkan luas.

Selain pelestarian budaya yang memanfaatkan teknologi digital, pemanfaatan teknologi atau aplikasi teknologi informasi untuk pengajaran pun menjadi salah satu sumber inspirasi yang menarik. Hal yang menjadi catatan dalam pemanfaatan teknologi informasi dalam pengajaran adalah peran yang berbeda dari pengajar yang bersangkutan. Misalnya pemanfaatan game untuk mengajar mahasiswa membuat cerita dan mengasah logika. Hasil karya mahasiswa adalah sebuah game yang memiliki skenario yang menjadi permainan. Selain itu, aplikasi online yang umum seperti Moodle, Dspace, dan Edu20 dibangun khusus untuk menunjang pengajaran yang melibatkan teknologi untuk menyampaikan materi, kolaborasi dan evaluasi.

Di tengah-tengah banyaknya ide-ide yang muncul, Spencer Benson dan David Kennedy membawakan presentasi yang menyadarkan bahwa mahasiswa yang kita hadapi adalah digital natives yang mengenal teknologi informasi dan peralatan digital sejak mereka sangat muda sehingga kemampuan mereka menggunakan melebihi generasi digital immigrants yang menadaptasi teknologi informasi dan peralatan digital di masa dewasa. Kesenjangan ini perlu disadari untuk dijembatani. Memisahkan generasi digital natives dari teknologi informasi adalah hal yang tidak perlu dilakukan, tapi justru mereka dapat dijangkau melalui teknologi informasi.

Yang menjadi tantangan besar adalah digital divide pada generasi digital immigrant yang masih enggan dan kurang percaya pada penggunaan teknologi informasi dalam pengajaran atau proses belajar-mengajar. Digital divide ini akan terkikis jika generasi digital immigrant meningkatkan digital literacy-nya sebagai modal memanfaatkan teknologi informasi dalam proses belajar-mengajar. Digital Divide juga berkaitan dengan sarana dan prasarana. Digital literacy memang mutlak didukung dengan sarana dan prasarana teknologi informasi.

Para peserta workshop yang berprofesi pustakawan, pengajar dan tenaga ahli teknologi informasi menghadapi suatu kenyataan bahwa apapun profesi mereka, mereka perlu menyadari posisi mereka ketika berhadapan dengan teknologi informasi apakah sebagai digital natives atau digital immigrant. Dengan profesi mereka, bagaimana dapat menjembatani digital divide jika itu menjadi tantangan dalam mengusahakan pelestarian budaya dan mempromosikan nilai-nilai kearifan lokal secara terbuka.

No comments: