Pages

Monday, September 29, 2008

Konflik Manusia

Beratnya jadi Kepala Unit.
Masalah membuat program dan mengerjakan pekerjaan tidak menjadi masalah sekalipun lelah. Apalagi ketika program berbarengan terjadi. Seperti saat ini, perpustakaan kami sedang melakukan re-inputing dan re-processing koleksi. Artinya, kami check koleksi pustaka yang berjumlah 50.000an itu satu persatu dan memperbaiki data elektroniknya, atau melakukan pengklasifikasian ulang jika perlu. Astaganaga kan?

Di samping itu, ada program literasi informasi yang harus dimulai semester ini dan dievaluasi hasilnya. Yang jelas, semua staff perpustakaan yang berjumlah kurang dari 10 orang itu fokus pada re-inputing dan re-processing koleksi, sementara saya bekerja sendirian untuk mengajar literasi informasi mengajar 5 kelas dan masih harus mengajar 4 kelas matakuliah jatah saya semester ini. Tidak mudah memang. Untung mengajar 9 kelas ini hanya 3 minggu, dan selanjutnya mengajar hanya 4 kelas jatah semester ini saja.

Di tengah-tengah keribetan pekerjaan yang tinggi, ternyata masih saja menyisakan tempat bagi sebuah konflik pribadi antara dua pria di perpustakaan. Konflik pribadi ini jadi tidak pribadi ketika keduanya harus bekerja sama dalam proses re-inputing dan re-processing. Komunikasi otomatis tidak ada, pekerjaan yang harusnya dapat dikerjakan lebih mulus jadi agak tersendat karena keduanya enggan kerja sama. Konflik pribadi menjadi kongflik organisasi.

Berbekal training sebagai mediator yang saya ikuti 9 tahun yang lalu, ternyata tidaklah mudah untuk menyelesaikan konflik antar dua manusia pria. Padahal, yang menjadi pokok masalah adalah PRIDE. Andai kata satu kata ini tidak dipegang erat oleh kedua manusia pria berkonflik itu, maka kata maaf akan mudah meluncur, dan suasana pekerjaan jadi lebih baik.

Dalam suatu konflik, semua pihak berkontribusi hingga ada masalah. Jadi tidak seorang pun benar, tidak seorangpun bersih dari masalah. Keduanya wajib menyelesaikan dan mengakui kontribusinya masing-masing.

Sayangnya, setelah bicara dengan keduanya secara terpisah, saya tidak melihat ada inisiatif dari keduanya menyelesaikan masalah ini. Saya tidak melihat dari keduanya tanda-tanda kerendahan hati. Saya tidak melihat dari keduanya tanda-tanda bahwa mereka punya kosa kata MAAF dalam kamus hati mereka.

Sayangnya, saya hanya bisa menjadi mediator, bukan pengambil keputusan bagi mereka bagaimana mereka harus bersikap. Ironisnya, mereka semua lebih tua daripada saya, bekerja di universitas ini lebih lama dari pada saya, dan berkeluarga lebih lama daripada saya.

Betul, tua itu pasti, tapi dewasa itu pilihan

No comments: