Pages

Tuesday, June 24, 2008

Zero Recruitment

Zero recruitment adalah situasi dimana tidak adanya penambahan karyawan dalam suatu organisasi karena pertimbangan-pertimbangan tertentu. Pertimbangan yang sering menjadi alasan adalah ekonomi. UUD, ujung-ujungnya duit. Ini banyak terjadi di banyak organisasi, tidak terkecuali institusi perguruan tinggi. Di saat jumlah calon mahasiswa menurun karena tidak lulus UN, berhasilnya program KB atau menurunnya daya bayar sekolah masyarakat setelah dan sebelum BBM naik lagi, maka institusi perguruan tinggi ramai-ramai "mengencangkan ikat pinggang". Sumber daya manusia adalah aset besar dan mahal sehingga banyak perguruan tinggi menahan diri untuk menambah karyawan. Kalaupun menambah, maka biasanya menambah dosen, bukan karyawan non edukatif atau administrasi, termasuk di dalamnya pustakawan.

Kondisi inilah yang menyulitkan perpustakaan ketika membutuhkan staff yang berlatar belakang pendidikan perpustakaan. Kebutuhan ini terbentur pada kebijakan Zero Recruitment, sehingga akhirnya yang kebutuhan staff tersebut diisi oleh karyawan dari unit lain yang tidak punya latar belakang perpustakaan dan bahkan berijazah SMA. Situasi ini mungkin akan terbantu jika institusi kemudian membekali staff tersebut dengan pendidikan formal ilmu perpustakaan. Namun, situasi ini sering kali terlalu ideal. Pada kenyataannya yang ditempatkan sudah berusia 35-40th, masih ditambah tidak tersedianya dana untuk menyekolahkan mereka karena "pengencangan ikat pinggang" tadi, dan tidak adanya program studi di kota setempat yang dapat menerima mahasiswa berusia lebih dari 25th. Satu-satunya pembekalan ilmu perpustakaan dari pelatihan perpustakaan yang diadakan setahun sekali selama 2 bulan. Dua bulan mereka dicekoki semua hal tentang perpustakaan: klasifikasi, layanan sirkulasi, digitalisasi, katalogisasi, referensi, manajemen perpustakaan dan pengarsipan. DUA BULAN SAJA, bahkan ada yang 1 bulan.

[sigh] Ini adalah kondisi yang sebenarnya di perpustakaan. Tidak semua perpustakaan bernasib seperti ini, ada yang lebih beruntung memiliki staff perpustakaan yang berlatar belakang minimal D3 perpustakaan, tapi ada juga yang lebih parah kondisinya daripada situasi di atas. Betapapun kondisi itu, harus dicari hal-hal yang dapat disyukuri, lalu dengan rasa syukur itu menyusun langkah-langkah pemberdayaan staff-staff yang belum berdaya dengan ilmu perpustakaan. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk memberdayakan staff perpustakaan dengan kondisi di atas:
1. evaluasi kinerja perpustakaan
dalam evaluasi ini masing-masing staff dengan semua kemampuannya [bukan keterbatasannya] menjelaskan pengamatan selama bekerja di perpustakaan, baik pengamatan terhadap pekerjaannya dan pengamatan terhadap bagian lain yang berefek maupun tidak berefek pada pekerjaannya. Ini termasuk masalah kebersihan dan tata letak meja kursi baca bahkan jenis tanaman yang diletakkan di perpustakaan.

2. membuat komitmen perubahan
dari evaluasi yang dipresentasikan oleh setiap staff, bersama-sama menentukan apa yang akan diperbuat untuk melakukan perubahan dan perbaikan. Perbaikan sekecil apapun diputuskan bersama untuk menjadi komitmen bersama. Pastikan bahwa komitmen pemberdayaan diri adalah salah satu diantara perbaikan yang akan dilakukan.

3. berbagi tugas
bentuklah tim yang akan mengerjakan proyek-proyek perubahan. Dalam penentuan tim ini, hindari penentuan dari pimpinan. Ketua tim ini haruslah dari staff perpustakaan agar pekerjaan dapat dikerjakan dengan semangat kebersamaan.

4. mengerjakan pekerjaan secara bertahap
buatlah tahapan-tahapan pengerjaan baik berdasar waktu maupun beban kerja.

Untuk proyek pemberdayaan staff yang berhubungan dengan ketrampilan atau pengetahuan praktis maka ada 2 hal yang dapat dilakukan:
1. Pemberdayaan oleh staff internal perpustakaan atau institusi
  • Kursus singkat diadakan dan diajarkan oleh salah satu staff perpustakaan. Staff yang mengajar wajib membuat bahan mengajar dan dibagikan kepada rekan-rekan untuk diajarkan dalam pertemuan kelas. Misalnya pelatihan Penelusuran dengan Mesin Pencari Google. Tujuan pelatihan dan hasil yang akan dicapai juga harus jelas. Masing-masing staff yang mengikuti harus memastikan bahwa mereka dapat mengikuti kelas dengan baik dan mampu mengerjakan yang dilatihkan.
2. Pemberdayaan oleh pihak luar
  • Staff mengikuti kursus di lingkungan institusi yang diadakan untuk civitas akademika atau umum dengan memastikan terlebih dahulu apa kepentingan kursus tersebut dan apa kompetensi yang akan dicapai melalui kursus itu.
  • Cara lain adalah mengundang pengajar senior atau ahli dari institusi lain untuk mengajar staff-staff secara khusus selama beberapa waktu. Cara ini seperti kursus private di rumah sendiri. Dengan cara ini, kebutuhan dan kenyamanan dapat terjamin. Diskusi dan tanya jawab untuk menggali lebih banyak pengetahuan dari pengajar dapat terjadi dalam cara ini.
Hal lain yang dapat dilakukan untuk memberi semangat untuk memberdayakan diri adalah:
  1. studi banding ke perpustakaan lain. Cara ini terkesan jalan-jalan dan sering kali tidak dimanfaatkan, tapi dari suatu studi banding yang dilakukan dengan benar akan menghasilkan ide-ide menarik yang dapat diadaptasi di perpustakaan.
  2. membangun kerja sama dengan perpustakaan lain untuk melakukan kegiatan bersama, atau mengadakan kegiatan yang mengundang rekan-rekan dari perpustakaan lain untuk seminar, pelatihan, bedah buku, sarasehan, diskusi panel, atau proyek pengembangan bersama.
  3. kerja bergilir pada bagian-bagian yang berbeda. Misalnya bergilir untuk melayani di sirkulasi, di bagian referensi, di bagian pengolahan atau di bagian input data. Ide yang ini perlu mempersiapkan SOP sehingga hasil kerja akan sesuai dengan mutu yang diharapkan.
Apapun yang menjadi cara untuk memberdayakan staff perpustakaan yang tidak berlatar belakang pendidikan perpustakaan, evaluasi hasil pemberdayaan perlu untuk menemukan cara mana yang memberikan banyak dampak atau perubahan terhadap kinerja masing-masing staff. Evaluasi juga untuk menemukan minat dari masing-masing staff untuk mendalami suatu bidang. Pendalaman suatu bidang kemudian diarahkan untuk dapat membekali orang lain. Dengan demikian pengetahuan yang didapatnya tidak akan berhenti tapi dikondisikan untuk berkembang. Kondisi ini membangun budaya belajar yang terus menerus.

Pada akhirnya, budaya ini juga akan menghasilkan suatu kompetensi standar yang harus dimiliki oleh seseorang untuk dapat bekerja di perpustakaan. Ini dapat digunakan untuk menyaring orang-orang yang akan ditempatkan oleh pimpinan institusi ketika ada niat untuk menempatkan orang di perpustakaan berhubung orang itu bermasalah di tempat atau di unit lain. Jangan heran, masih banyak pimpinan perguruan tinggi yang melakukan itu.

No comments: