Dipresentasikan pada Stadium General Program Diploma Ilmu Perpustakaan Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga, Yogyakarta 15 Februari 2010
Library 2.0
Istilah Library 2.0 didengungkan pertama kali oleh Michael Casey dalam blognya, LibraryCrunch, dengan definisi yang mendapat tantangan dari beberapa penulis/pengamat dan pustakawan lain. Istilah Library 2.0 yang diungkapkan berkaitan erat dengan istilah yang ungkapkan oleh Tim O'Reilly dan Dale Dougherty pada tahun 2003, yaitu Web 2.0. Istilah 2.0 digunakan O'Reilly untuk menunjukkan versi dari teknologi web yang bersifat partisipatori dan berpusat pada pemustaka. Karakteristik Web 2.0 ini dimanfaatkan Casey untuk mendefinisikan Library 2.0 yang memiliki sifat berubah terus menerus dengan tujuan yang jelas, melibatkan peran pemustaka melalui layanan yang sesuai dengan kebutuhan pemustaka dan mampu menjangkau pemustaka yang berpotensi menjadi pemustaka layanan perpustakaan tersebut.
Sementara definisi Library 2.0 lainnya, salah satunya diungkapkan oleh Maness dengan mendefinisikan Library 2.0 sebagai pengaplikasian teknologi berbasis web yang interaktif, kolaboratif dan bermultimedia pada koleksi dan layanan perpustakaan yang berbasis web. Baik definisi Manessmaupun Casey, keduanya menekankan ciri Web 2.0 di dalamnya, sehingga secara sederhana dapat dikatakan bahwa Library 2.0 adalah perpustakaan yang mengadopsi, memanfaatkan dan melibatkan Web 2.0 dalam layanan dan kegiatannya.
Menengok Web 2.0
Sebelum meneruskan pembahasan Library 2.0, mengingatkan kembali Web 2.0 akan memberikan gambaran lebih jelas tentang Library 2.0. Web 2.0 adalah jargon yang diperkenalkan oleh O'Reilly untuk mewakili aplikasi-aplikasi berbasis web yang memungkinkan pemustaka menjadi pembuat informasi dan juga pemanfaat informasi pada aplikasi-aplikasi tersebut. Dengan demikian informasi yang disajikan berasal dari para pemustaka yang juga menggunakan informasi yang tersedia dari pemustaka lain. Lebih dari itu informasi yang disajikan oleh seorang pemustaka dapat ditambahkan dan diubah oleh pemustaka lain sehingga perubahan informasi dalam segi isi dan jumlah sangat cepat.
Aplikasi-aplikasi tersebut dikenal baik oleh pemustaka Internet selama ini seperti : blog dari Blogger dan Wordpress, aplikasi jaringan sosial seperti Facebook, Twitter dan Delicious, pengelola konten seperti Flicker dan YouTube, aplikasi kolaboratif seperti Wiki dan Google Docs, dan aplikasi pesan instan (Instant Messaging) seperti YM, Google Talk dan Google Wave. Ciri utama dari aplikasi-aplikasi tersebut adalah komunikasi antar pemustaka dan informasi yang disajikan oleh para pemustaka secara bersama-sama. Aplikasi-aplikasi inilah yang termasuk dalam Web 2.0, yaitu web yang menekankan pada kolaborasi online dan berbagi antar pemustaka (Wikipedia). Inilah ciri utama yang dijadikan fokus pada layanan Library 2.0.
Karakteristik Library 2.0
Karakteristik utama dari Library 2.0 adalah komunikasi yang terjadi antara pustakawan dan pemustaka perpustakaan, dan keterlibatan pemustaka dalam pengembangan layanan perpustakaan. Maness menjelaskan ada 4 hal yang menjadi karakteristik Library 2.0:
- User-centered atau berpusat pada pemustaka. pemustaka tidak saja menggunakan informasi yang tersaji melalui teknologi Web 2.0 yang dimanfaatkan oleh perpustakaan, tapi pemustaka adalah turut aktif dalam menyajikan konten pada aplikasi tersebut. pemustaka dianggap mampu membagikan pengetahuannya dan memiliki informasi yang akan berguna untuk pemustaka lainnya. Sebagai contoh pada katalog yang bersifat partisipatori milik perpustakaan umum St. Joseph di Indiana, tersedia fungsi dimana pemustaka dapat menambahkan tag dan memberika review pada buku yang pernah dibacanya. Apa yang diinformasikannya, akan memberikan informasi kepada pemustaka lain. Hal ini juga terjadi di aplikasi wiki yang memang dimanfaatkan untuk membangun konten secara bersama-sama. Sementara pada blog, masukan pemustaka berupa umpan balik yang diberikan pada konten yang tersedia.
- Multimedia experience atau pemanfaatan berbagai media untuk membangun konten dan penyajian layanan. Konten yang disajikan tidak hanya teks, tapi video atau audio atau gambar. Materi tutorial pemustakaan mesin pencari dapat disajikan dalam bentuk video. Sementara pemanfaatan flash dan audio dapat untuk membuat konten tutorial prosedur layanan-layanan di perpustakaan. Perpustakaan melakukan promosi layanan-layanannya akan lebih interaktif dan menarik dengan memanfaatkan multimedia.
- Socially rich maksudnya adalah keberadaan pemustaka dan perpustakaan dapat dirasakan dan nyata sekalipun berbasis web. Komunikasi dapat dilakukan secara langsung menggunakan IM (instant messaging) atau secara tidak langsung melalui umpan balik yang diberikan atau komentar pada aplikasi jaringan sosial. Keberadaan perpustakaan yang dirasakan oleh pemustaka tidak dibatasi oleh tempat dan jarak. Layanan rujukan dapat terjadi sewaktu-waktu ketika keduanya bertemu. Dari komunikasi yang terjalin inilah perpustakaan dapat mengevaluasi layanan-layanannya dan mengembangkan layanan sesuai dengan kebutuhan pemustaka yang tertangkap dari komunikasi dan umpan balik yang diberikan.
- Communally innovative adalah inovasi yang dilakukan bersama dengan komunitas pemustaka yang dilayani perpustakaan. Layanan tidak hanya berasal dari pustakawan atau perpustakaan tetapi layanan dihadirkan pula oleh pemustaka melalui keterlibatan mereka dalam pengembangan konten dan komunikasi. Perpustakaan berubah bersama komunitasnya dan perubahan yang terjadi berdasarkan kebutuhan komunitas yang dilayaninya.
Karakteristik yang menitik-beratkan pada kolaborasi antara pustakawan dan pemustaka membawa konsekuensi bahwa konsep Library 2.0 mengubah cara kerja dan arah pengembangan perpustakaan. Ini juga berarti mengubah para pustakawan dalam memberdayakan dirinya untuk melayani pemustaka dan melakukan pelayanan terhadap pemustaka. Keberadaan pemustaka yang tidak hanya dalam bentuk fisik, datang ke gedung perpustakaan untuk mendapatkan layanan, tapi juga hadir secara maya untuk mendapatkan layanan yang sama dengan format yang berbeda, menempatkan pustakawan sebagai orang yang fleksibel, cepat tanggap dan mampu melakukan beberapa layanan sekaligus.
Pemanfaatan Web 2.0
Layanan perpustakaan dengan konsep Library 2.0 menitik beratkan pada keterlibatan pemustaka dalam layanan tersebut sebagai pemanfaat dan penyedia informasi. Layanan jenis tersebut tidak selalu harus menggunakan teknologi informasi. Akan tetapi karena pada saat ini segala segi kehidupan telah begitu dekat dengan teknologi informasi, maka alat-alat Web 2.0 adalah alat-alat yang dimanfaatkan untuk menyajikan layanan Library 2.0. Alat-alat tersebut berupa aplikasi berbasis web yang telah disebutkan di atas. Aplikasi-aplikasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk menyajikan layanan yang memberi keleluasaan bagi pemustaka untuk berpartisipasi dalam menyediakan konten.
- Aplikasi Wiki dapat digunakan untuk berkolaborasi membuat konten bersama. Penyebaran ilmu melalui WIKI akan sangat cepat dan peer-review dapat terjadi secara online.
- Aplikasi Blog menjadi alat untuk berbagi informasi dari pemustaka ke pemustaka lain. Perpustakan dapat memanfaatkan untuk menyajikan isu-isu terbaru yang dapat ditanggapi oleh pemustaka.
- Aplikasi Facebook adalah cara berjejaring dengan pemustaka perpustakaan untuk mempromosikan layanan perpustakaan, bertukar informasi dan menjangkau pemustaka yang potensial
- Aplikasi YouTube dan Flicker mengelola konten multimedia yang dapat dimanfaatkan sebagai penyaji layanan misalnya video tutorial tentang prosedur akses perpustakaan, tutorial literasi informasi dan sebagainya.
- Aplikasi Delicious membantu menyimpan bookmard website-website yang ditemukan untuk kepentingan berikutnya. Mendapatkan informasi tentang bookmark orang lain akan menambah pengetahuan. Folksonomi berupa tag-tag pada bookmark website akan membantu pengkatagorian/pengelompokan website-website yang ditemukan dan melalui tag tersebut diperoleh website lain yang ditemukan pemustaka lain dengan tag yang sama. Jejaring ini menambah koleksi sumber informasi.
- Aplikasi Google Docs memungkinkan beberapa pemustaka berkolaborasi untuk membangun dokumen secara bersama. Dokumen yang dibuat dan dibagikan hak aksesnya kepada pemustaka lain yang ditentukan, akan dapat diakses dan diubah. Kolaborasi ini mirip seperti aplikasi wiki, hanya dibuat tertutup atau terbatas pada pemustaka yang memiliki akses. Pemanfaatan Google docs untuk para pustakawan dapat bekerja sama ketika membuat konsep proposal atau karya bersama. Bahkan pemustaka dapat berbagi akses dengan pustakawan untuk mendapatkan evaluasi tentang karya tulisnya.
Inti dari aplikasi-aplikasi Web 2.0 ini adalah keberadaan pustakawan dan pemustaka pada layanan yang ada di aplikasi tersebut. Interaksi, komunikasi, dan pengetahuan dapat dibagikan melalui aplikasi tersebut. Dari pertemuan-pertemuan tersebut baik yang langsung maupun tidak langsung menghasilkan masukan dari pemustaka tentang kebutuhan mereka, pendapat mereka tentang layanan perpustakaan dan apa yang mereka tahu. Ini dapat mengarahkan kita kepada jenis dan bentuk layanan yang mungkin dapat disajikan oleh perpustakaan.
Librarian 2.0
Pemanfaatan aplikasi-aplikasi Web 2.0 untuk Library 2.0 mengharuskan kesiapan pustakawan dalam menggunakan aplikasi-aplikasi tersebut, kemampuan untuk mengembangkan konten, kemampuan untuk memelihara layanan yang disajikan. Kemampuan berupa ketrampilan penggunan aplikasi menjadi bekal pokok. Akan tetapi yang lebih penting dari ketrampilan adalah perubahan paradigma dalam diri pustakawan.
- Meredith Farkas dalam slidenya yang menyoroti tentang Librarian 2.0 menyebutkan beberapa ketrampilan yang perlu dimiliki oleh pustakawan versi kedua yaitu :
- Mampu menguasai teknologi informasi yang digunaka
- Mampu mengelola, baik dirinya maupun layanan yang diampunya
- Mengajar adalah ketrampilan yang harus dimiliki oleh pustakawan, sekalipun ini tidak berarti harus menjadi seorang pengajar layaknya seorang dosen.
- Penelusuran informasi dikuasai untuk jenis informasi apapun melalui berbagai teknologi
- Promosi diri dan layanan menjadi syarat untuk dapat menjangkau pemustaka dan menjadikan layanan yang diampunya berhasil memberdayakan pemustaka yang memerlukan.
Ketrampilan lain yang menunjang dan berkaitan dengan sikap adalah :
- Memiliki jiwa Customer Service: siap menolong, tersedia kapanpun ketika dapat dijangkau, dan mampu menghadapi berbagai macam pemustaka. Aturan “tidak pernah berkata tidak tahu” harus tetap dipegang.
- Terbuka/ Fleksibel terhadap perubahan. Ketika layanan harus berubah, ketika kebutuhan berubah, ketika teknologi berubah, ketika ilmu berkembang, ketika ada harus mengadopsi ilmu lain, pustakawan siap.
- Mau belajar tanpa henti dengan cara apapun dan dari siapapun termasuk pemustaka adalah sikap yang membuat pustakawan mampu berkembang dan memberdayakan pemustaka.
- Berinovasi dan kreatif menjadi efek dari keterbukaan dan sikap mau belajar. Semakin banyak informasi yang diperoleh, semakin banyak mendapatkan ide baru.
Ketrampilan-ketrampilan di atas dapat diraih karena pustakawan memiliki cara pandang yang berbeda tentang dirinya dan profesinya sebagai pustakawan. Pandangan-pandangan tersebut di antaranya :
- Pengembangan perpustakaan didasari oleh kebutuhan pemustakanya. Layanan berpusat pada pemustaka. Pemustaka yang tahu apakah layanan tersebut berhasil, berguna dan membawa dampak baginya.
- Pemustaka berdaya untuk membagikan informasinya, pengetahuannya dan mampu menyajikannya bagi pemustaka lain. Folksonomi, review buku pada katalog 2.0 dan umpan balik pada blog adalah bukti.
- Promosi adalah menjangkau pemustaka.
- Aplikasi-aplikasi Web 2.0 adalah teman baik dan rekan kerja pustakawan
- Ide baru muncul dari ilmu lain
- Berjejaring dengan pustakawan lain dan profesional lain
Tentunya masih ada lagi paradigma yang perlu untuk dimiliki oleh pustakawan ketika ingin menjadikan perpustakaannya berkonsep Library 2.0. Library 2.0 dapat terwujud karena pustakawan-pustakawannya adalah librarian 2.0.
Penutup
Library 2.0 lebih mudah dibahas dari sisi penggunaan teknologi informasi yang menunjang terwujudnya library 2.0. Belajar menggunakan aplikasi-aplikasi Web 2.0 tidaklah sulit, tapi mengubah paradigma atau cara pandang sehingga layanan itu menjadi suatu layanan yang memberdayakan pemustaka itu bukan masalah teknologinya, tapi itu masalah karakter sebagai pustakawan. Profesi ini jadi tinggal profesi ketika tidak dihidupi sesuai dengan panggilannya. Ini juga yang membuat perpustakaan ini di negeri ini terlambat untuk maju, terlambat untuk berkembang, terlambat untuk memberi makna pada pemustaka atau bahkan masyarakat disekitarnya.
Di satu sisi gedung-gedung megah perpustakaan banyak muncul, sementara di sisi lain ruang gudang di kantor desa atau kecamatan yang diisi buku sudah disebut perpustakaan dengan menempatkan 1 pustakawan yang hanya menunggu kunjungan masyarakat yang ternyata tidak tahu bahwa ruang itu adalah perpustakaan. Kalaupun tahu bahwa itu perpustakaan maka, mereka hanya tahu bahwa perpustakaan itu tempat buku dan buku-bukunya tidak berelasi dengan kebutuhannya atau hidupnya, karena hasil kiriman dari pusat dengan tender sekian rupiah dari penerbit tertentu. Tidak ada makna yang diberikan. Di sisi lain sekelompok pustakawan sibuk memanfaatkan teknologi informasi, sementara kelompok pustakawan lain hanya punya bekal ilmu katalogisasi dengan DDC dan membuat kartu katalog yang tak disentuh oleh pemustakanya. Tidak ada jejaring yang memberdayakan, tidak ada transfer ilmu yang membuat kelompok pustakawan itu merasa berarti menjadi seorang pustakawan.
Ketika pustakawan mulai menyadari bahwa memberdayakan komunitas pemustakanya adalah bagian dari dirinya maka dimanapun pustakawan itu ditempatkan, dengan fasilitas apapun yang ada, dia tetap akan menjadi librarian 2.0 karena dia menjangkau pemustakanya dengan layanan yang tepat sesuai dengan kebutuhan pemustakanya. Dia memahami masalah yang terjadi di komunitas pemustakanya. Dengan demikian perpustakaannya, dengan terbatasnya fasilitaspun menjadi perpustakaan versi 2.0 karena perpustakaannya melibatkan pemustaka dalam layanan, kegiatan, koleksi dan pengembangan perpustakaan.
3 comments:
nah..ini menciptakan gaya hidup baru pustakawan yaitu belajar...Learning is my lifestyle...uhuuyyy...
thanks for sharing jeng! ;-)
belajar untuk diabdikan, diwujud-nyatakan tidak hanya belajar lalu ditelan sendiri...
Terima kasih, mBak Umi.Senang sekali saya bisa keluyuran sampai Klitren ini ("saya pernah tinggal dekat SMA Bopkri 1"), blog ini, guna mereguki esensi perpustakaan 2.0 dan pustakawan 2.0.
Dalam ranah ini, menurut sepengetahuan saya, sang pustakawan 2.0 adalah pula sosok perpustakaan itu sendiri. Dirinya harus menjadi bagian dari isi dialog (dengan beragam media web 2.0 yang kaya) dengan kliennya,dan bukan hanya menjadi penjaga gudang benda-benda atom (baca : kertas) semata. Sayang, mata kuliah creative writing tak ada (?) dalam dunia perkuliahan ilmu perpustakaan. Entah yang jenjang S-2. Akibatnya, tak banyak lulusan pendidikan ilmu perpustakaan yang mampu menjadi komunikator untuk koleksi-koleksi tempat kerja mereka.
Post a Comment