Pages

Thursday, August 19, 2010

Information literacy: A Training for Trainer

Mendapat kesempatan untuk berkumpul dengan para pustakawan memang merupakan kesempatan istimewa. Keistimewaan itu saya rasakan ketika diundang untuk berpartisipasi dalam Pelatihan Literasi Informasi di Universitas Pelita Harapan, Karawaci. Di sana bertemu dengan para pustakawan yang sebagian besar belum pernah saya kenal sebelumnya. Luar biasa rasanya.

Bertemu lagi dengan Pustakawan Senior seperti Bapak Blasius Sudarsono, selalu menjadi kesempatan untuk cuci otak. Walaupun hasilnya pusing, begitu menurut Hanna Latuputty dan salah seorang pustakawan yang bertanya, itu berarti Bapak berhasil membuat kami, terutama saya berpikir tentang menjadi pembelajar yang mandiri. Konsep diri yang konstruktif ternyata membuat saya berpikir bahwa informasi yang begitu berlimpah seharusnya menjadi modal kuat untuk membangun sesuatu yang baru. Kombinasi dari apa yang dilihat, didengar dan dirasa dapat menghasilkan sesuatu yang baru kalau kebiasaan untuk berproses dan berkarya ada dalam diri.

Pustakawan, secara hakekat adalah pribadi yang dekat dengan informasi dan karya berupa produk informasi. Hanya saja pada kenyataannya, sering kali itu tidak terjadi dalam diri pustakawan. Kemampuan akademik dan intelektual bukan halangannya, tetapi cara memandang diri yang jadi penghambat. Menjadi pembelajar yang mandiri memang harus dimulai dari kebiasaan baru. Orang belajar, tidak malu ketika salah. Orang belajar tidak ragu untuk memulai dari NOL. Orang belajar, menggunakan kesempatan sekalipun sempit. Orang belajar, menggunakan pengalaman diri dan orang lain. Orang belajar, membuat orang lain belajar.

Pelatihan Literasi Informasi ini bermaksud untuk menyiapkan para peserta untuk memberdayakan pemustaka yang dilayani perpustakaan mereka dengan kemampuan untuk memanfaatkan informasi secara efektif dan etis. Memberdayakan orang lain itu berarti dirinya sendiri harus berdaya lebih dulu. Keberdayaannya dapat dicapai dengan menjadi pembelajar yang mandiri. Pelatihan ini hanya memberikan stimulan, petunjuk, awalan dan curahan pemikiran bagaimana dapat berdaya dan lalu memberdayakan. Terus terang, bagi sebagian pustakawan yang datang, ini suatu loncatan yang tinggi. Namun demikian, loncatan itu harus dimulai sekalipun dengan loncatan-loncatan yang lebih kecil dan memerlukan waktu untuk mencapai pemberdayaan. Nah, bertemu dengan pustakawan-pustakawan lain itu adalah pendorong untuk melakukan loncatan.

Bekal dari Bapak Blasius tadi kemudian dilengkapi dengan topik tentang pengukuran dan evaluasi program literasi informasi. Ini bagian perenungan dan refleksi dalam pelaksanaan program literasi informasi. Hasil pengukuran terhadap kemampuan para peserta program literasi informasi menjadi bukti seberapa pemberdayaan yang dilakukan berhasil. Evaluasi program literasi yang diberikan oleh para peserta, maupun hasil dari pengamatan pelaksana adalah modal bagi keberlangsungan dari program literasi informasi selanjutnya.

Topik berikutnya adalah strategi dalam pengajaran. Salah satu informasi yang dibagikan adalah tentang Cognitive Strategies yang membantu individu memahami, mengingat dan menerapkan apa yang diterimanya. Strategi-strategi tersebut adalah : Concept Mapping,Dump and Clump, Visualization, Making Associations, Chunking, Questioning, Scanning, Underlining, Accessing Cues, Using Mnemonics, Sounding out words, Self-checking and Monitoring.
Strategi-strategi tersebut diperkenalkan oleh Ibu Utami untuk membekali para pustakawan dalam persiapan mereka membuat bahan pengajaran literasi informasi pada praktek micro teaching.

Di sini baru terasa bahwa pustakawan ternyata diharapkan dapat mengajar. Ternyata harapan ini agak mengerikan bagi sebagian pustakawan. Mengajar mungkin tidak terpikirkan oleh mereka. Karena apa yang selama ini terlintas ketika mendengar kata tersebut adalah berdiri di muka kelas, dan menghadapi para peserta. Apakah "mengajar" itu senantiasa berarti mempresentasikan materi di depan kelas? Sebenarnya tidak, tapi pada kenyataannya pada praktek micro teaching banyak yang membagikan pengalamannya. Kebanyakan merasa rasa gemetar, grogi dan kehilangan ide begitu berdiri di depan kelas. Bahan ajar mereka yang dipersiapkan secara kelompok dan bagian-bagian yang mereka sudah sepakati untuk dibawakan oleh masing-masing anggota kelompok tidak semuanya berjalan sesuai dengan rencana. Namun demikian semangat mereka untuk dapat memberikan yang terbaik dan menggunakan kesempatan untuk belajar mengajar benar-benar harus diacungi jempol.

Banyak kelompok memanfaatkan materi-materi workshop pada hari kedua yaitu membaca efektif dengan SQ3R, plagiarisme, dan penggunaan mesin pencari dan evaluasi sumber informasi dari Internet sebagai bahan pengajaran. Mereka mengembangkan bagian dari materi workshop dan mengolahnya dengan dilengkapi dengan permainan atau informasi dalam bentuk multimedia. Dengan demikian apa yang mereka pelajari di workshop hari kedua menjadi lebih jelas dan bahkan lebih berkembang.

Bekal yang diberikan kepada para pustakawan dalam workshop ini sudah cukup untuk masing-masing memulai proses menjadi pembelajar mandiri, yang kemudian menularkan kemandirian dalam belajar kepada pemustakanya dalam suatu tutorial kreasi sendiri.
Tutorial dalam kelas menjadi salah satu pilihan, tapi bukan berarti itu satu-satunya strategi. Bagi mereka yang merasa nyaman tutorial one-to-one, dapat menyediakan jadwal khusus bagi para pemustaka yang memerlukan bantuannya atau bahkan melayani kapanpun mereka membutuhkan tutorial tersebut. Selain itu, mempersiapkan materi literasi informasi yang siap diakses dalam format apapun untuk pemustaka dapat mempelajari sendiri adalah cara lain menyajikan tutorial. Pemanfaatan multimedia akan sangat membantu tutorial jenis ini.

Training for Trainer ini sudah mempersiapkan trainers-wanna be yang penuh semangat. Penting untuk menjaga semangat mengembangkan diri agar mampu mengembangkan orang lain.

5 comments:

om em said...

training for trainer emang harus ada dan dikelola dengan baik. Kasihan kalau orang daerah harus mengundang orang dari jakarta yang biayanya mahal. Kalau sudah ada resource yang kompeten di daerahnya atau setidaknya di pulaunya, pasti biaya pelatihan dsb menjadi lebih murah yah... ah, gak sabar pengen keluar Jakarta jadinya..

hanna latuputty said...

aku jadi ngak enak sama pak BS, karena belum apa apa sudah memberi 'nilai' berdasarkan pengalaman pribadi, dan sama sekali tidak menyangka, ternyata membawa dampak buat peserta, yaitu bingung.
Tapi, aku beruntung bisa menjadi moderator Pak BS dan dirimu, jeng, aku bisa belajar langsung dari dekat. Seperti biasa, pak BS me-refresh knowledge tentang kegiatan pembelajaran. Segitu, beliau mengaku, itu bukan bidang saya...dan dari Jeng Othie, aku belajar untuk membawakan sebuah materi dengan terang, jelas dan tajam....anyway, well done jeng...meski cuma sekejab, senang bisa bercengkrama bersama di sana. kapan kita ketemu lagi di forum seperti ini ya?...

Umi Proboyekti said...

Dear EM. dirimu dieksport ke daerah aja gimana? kalo kemarin kan diriku, orang daerah, diimport ke Karawaci.
Mimpi untuk punya TOT yang terencana dan menular/menjangkau semua pustakawan itu dah ada, gak pede untuk memunculkan karena butuh temen banyak dan punya concern dan tekad yang saling dukung.

Dear Hanna,
jgn suka merendah. penilaian kemarin itu justru buat orang penasaran. pada menikmati kok. Pak BS juga santai, udah tahu betul siapa dirinya. Hehehe.. lumayan kan cuci otak?
Wkwkwk.. syukurlah kalo kemarin aku dirimu nilai menjelaskan dengan JELAS. soale dari sisiku, diriku merasa belum menjawab kebutuhan. semoga jadi berkat deh.
Thank you Jennnggg....

Anonymous said...

Terima kasih atas informasi yang besar! Saya tidak akan menemukan ini dinyatakan!

Anonymous said...

perlu memeriksa:)